Dunia Astronomi yang hingga saat ini masih banyak belum dipahami oleh masyarakat yang dikdilatar belakangi oleh kualitas pendidikan. Secara logika memang betul, semakin besar kualitas pendidikan astronomi pada publik maka akan semakin banyak masyarakat yang akan paham terhadap astronomi. Semakin sedikit kualitas pendidikan astronomi pada masyarakat maka akan semakin sedikit pula masyarakat yang paham terhadap astronomi.
Pada bagian awal sejarahnya, astronomi memerlukan hanya pengamatan dan ramalan gerakan benda di langit yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Rigveda menunjuk kepada ke-27 rasi bintang yang dihubungkan dengan gerakan matahari dan juga ke-12 Zodiak pembagian langit. Yunani kuno membuatkan sumbangan penting sampai astronomi, di antara mereka definisi dari sistem magnitudo. Alkitab berisi sejumlah pernyataan atas posisi tanah di alam semesta dan sifat bintang dan planet, kebanyakan di antaranya puitis daripada harfiah; melihat Kosmologi Biblikal. Pada tahun 500 M, Aryabhata memberikan sistem matematis yang mengambil tanah untuk berputar atas porosnya dan mempertimbangkan gerakan planet dengan rasa hormat ke matahari.
Penelitian astronomi hampir berhenti selama abad pertengahan, kecuali penelitian astronom Arab. Pada akhir abad ke-9 astronom Muslim al-Farghani (Abu'l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani) menulis secara ekstensif tentang gerakan benda langit. Karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di abad ke-12. Pada akhir abad ke-10, observatorium yang sangat besar dibangun di dekat Teheran, Iran, oleh astronom al-Khujandi yang mengamati rentetan transit garis bujur Matahari, yang membolehkannya untuk menghitung sudut miring dari gerhana. Di Parsi, Umar Khayyām (Ghiyath al-Din Abu'l-Fath Umar ibn Ibrahim al-Nisaburi al-Khayyami) menyusun banyak tabel astronomis dan melakukan reformasi kalender yang lebih tepat daripada Kalender Julian dan mirip dengan Kalender Gregorian. Selama Renaisans Copernicus mengusulkan model heliosentris dari Tata Surya. Kerjanya dipertahankan, dikembangkan, dan diperbaiki oleh Galileo Galilei dan Johannes Kepler. Kepler adalah yang pertama untuk memikirkan sistem yang menggambarkan dengan benar detail gerakan planet dengan Matahari di pusat. Tetapi, Kepler tidak mengerti sebab di belakang hukum yang ia tulis. Hal itu kemudian diwariskan kepada Isaac Newton yang akhirnya dengan penemuan dinamika langit dan hukum gravitasinya dapat menerangkan gerakan planet.
Bintang adalah benda yang sangat jauh. Dengan munculnya spektroskop terbukti bahwa mereka mirip matahari kita sendiri, tetapi dengan berbagai temperatur, massa dan ukuran. Keberadaan galaksi kita, Bima Sakti, dan beberapa kelompok bintang terpisah hanya terbukti pada abad ke-20, serta keberadaan galaksi "eksternal", dan segera sesudahnya, perluasan Jagad Raya dilihat di resesi kebanyakan galaksi dari kita.
Kosmologi membuat kemajuan sangat besar selama abad ke-20, dengan model Ledakan Dahsyat yang didukung oleh pengamatan astronomi dan eksperimen fisika, seperti radiasi kosmik gelombang mikro latar belakang, Hukum Hubble dan Elemen Kosmologikal. Untuk sejarah astronomi yang lebih terperinci, lihat sejarah astronomi.
Perkembangan Astronomi Indonesia
A. Masyarakat tradisional
Seperti kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, masyarakat asli Indonesia sudah sejak lama menaruh perhatian pada langit. Keterbatasan pengetahuan membuat kebanyakan pengamatan dilakukan untuk keperluan astrologi. Pada tingkatan praktis, pengamatan langit digunakan dalam pertanian dan pelayaran. Dalam masyarakat Jawa misalnya dikenal pranata mangsa, yaitu peramalan musim berdasarkan gejala-gejala alam, dan umumnya berhubungan dengan tata letak bintang di langit.
Nama-nama asli daerah untuk penyebutan obyek-obyek astronomi juga memperkuat fakta bahwa pengamatan langit telah dilakukan oleh masyarakat tradisional sejak lama. Lintang Waluku adalah sebutan masyarakat Jawa tradisional untuk menyebut tiga bintang dalam sabuk Orion dan digunakan sebagai pertanda dimulainya masa tanam. Gubuk Penceng adalah nama lain untuk rasi Salib Selatan dan digunakan oleh para nelayan Jawa tradisional dalam menentukan arah selatan. Joko Belek adalah sebutan untuk Planet Mars, sementara lintang kemukus adalah sebutan untuk komet. Sebuah bentangan nebula raksasa dengan fitur gelap di tengahnya disebut sebagai Bimasakti.
B.Masa modern
Pelaut-pelaut Belanda pertama yang mencapai Indonesia pada akhir abad-16 dan awal abad-17 adalah juga astronom-astronom ulung, seperti Pieter Dirkszoon Keyser dan Frederick de Houtman. Lebih 150 tahun kemudian setelah era penjelajahan tersebut, misionaris Belanda kelahiran Jerman yang menaruh perhatian pada bidang astronomi, Johan Maurits Mohr, mendirikan observatorium pertamanya di Batavia pada 1765. James Cook, seorang penjelajah Inggris, dan Louis Antoine de Bougainville, seorang penjelajah Perancis, bahkan pernah mengunjungi Mohr di observatoriumnya untuk mengamati transit Planet Venus pada 1769.
Ilmu astronomi modern makin berkembang setelah tahun 1928, atas kebaikan Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang pengusaha perkebunan teh di daerah Malabar, dipasang beberapa teleskop besar di Lembang Jawa Barat, yang menjadi cikal bakal Observatorium Bosscha, sebagaimana dikenal pada masa kini. Penelitian astronomi yang dilakukan pada masa kolonial diarahkan pada pengamatan bintang ganda visual dan survei langit di belahan selatan ekuator bumi, karena pada masa tersebut belum banyak observatorium untuk pengamatan daerah selatan ekuator. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, bukan berarti penelitian astronomi terhenti, karena penelitian astronomi masih dilakukan dan mulai adanya rintisan astronom pribumi.
Pendidikan Astronomi di Indonesia secara formal dilakukan di Departemen Astronomi, Institut Teknologi Bandung. Departemen Astronomi berada dalam lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan secara langsung terkait dengan penelitian dan pengamatan di Observatorium Bosscha. Lembaga negara yang terlibat secara aktif dalam perkembangan astronomi di Indonesia adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Selain pendidikan formal, terdapat wadah informal penggemar astronomi, seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, serta tersedianya planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang selalu ramai dipadati pengunjung.
Perkembangan astronomi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat, dan mendapat pengakuan di tingkat Internasional, seiring dengan semakin banyaknya pakar astronomi asal Indonesia yang terlibat dalam kegiatan astronomi di seluruh dunia, serta banyaknya siswa SMU yang memenangi Olimpiade Astronomi Internasional maupun Olimpiade Astronomi Asia Pasific. Demikian juga dengan adanya salah seorang putra terbaik bangsa dalam bidang astronomi di tingkat Internasional, yaitu Profesor Bambang Hidayat yang pernah menjabat sebagai vice president IAU (International Astronomical Union).
Berdasarkan analisa tersebut dapat dipahami, semakin bagus kualitas, pemahaman, serta pengetahuan pendidikan astronomi, maka akan besar peluang para lulusan dunia astronom dimata Internasional. Semuanya sangat tergantung sejauh mana keseriusan pemuda dalam menguasai dunia astronom, jika kualitas, pemahaman, serta pengetahuan pendidikan astronomi sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kurikulum pendidikan Nasional.
Hal-hal yang berkitan dengan Astronomi
1. Ilmu Falak
Dalam khazanah intelektual Islam klasik ilmu falak sering disebut dengan ilmu hisab, miqat, rasd, dan hai'ah. Tak jarang pula disamakan dengan astronomi atau "falak ilmi". Dr. Yahya Syami dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Safhat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamiy (1997) memetakan sejarah perkembangan ilmu hisab menjadi dua fase, yaitu fase pra-Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.
Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan hisab di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Matali' al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.
Ruang Lingkup
Ilmu Falak pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu Falak Ilmiy, dan ilmu Falak Amaliy. Ilmu Falak Ilmiy disebut juga Theoritical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy disebut juga Practical Astronomy. Ilmu Falak Amaliy inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu Falak atau Ilmu Hisab. Bahasan Ilmu Falak yang dipelajari dalam Islam adalah yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah, sehingga pada umumnya ilmu Falak ini mempelajari 4 bidang, yakni :
1. Arah Kiblat dan bayangan arah kiblat.
2. Waktu-waktu Sholat.
3. Awal bulan.
4. Gerhana.
Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh falak di kalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan–cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.
Di Indonesia ilmu falak juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak falak Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Namun, berdasarkan data historis sebenarnya selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh falak yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad Rifa'i, dan K.H. Sholeh Darat.
2. Ilmu Hisab
Di Indonesia ilmu Hisab juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari.[1] Selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, [2] Ahmad Rifa'i, [3] dan K.H. Sholeh Darat[4].
Selanjutnya perkembangan ilmu hisab di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah. Dalam perjalanannya Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia. Sayangnya hingga kini Muhammadiyah belum memiliki pedoman tentang hisab secara komprehensip. Oleh karena itu kehadiran pedoman hisab Muhammadiyah yang bersifat teoritis dan praktis merupakan sebuah keniscayaan. Pedoman hisab Muhammadiyah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membicarakan persoalan arah kiblat. Bagian kedua mengakji persoalan awal waktu salat, dan bagian ketiga menjelaskan tentang awal bulan kamariah. Masing-masing bagian ini merupakan landasan berpikir tentang Metodologi Hisab Muhammadiyah yang nantinya akan dijadikan pedoman dalam menggunakan software Hisab Muhammadiyah. Hal ini dimaksudkan agar proses kaderisasi ahli hisab di lingkungan Muhammadiyah berjalan sesuai yang diamanatkan Munas Tarjih XXVI di Padang dan Muktamar Muhammadiyah di Malang pada tahun 2005/1426.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam dunia astronomi, Para astronom kini sedang berjuang melindungi laboratorium alam terbesar agar tidak lenyap dari khasanah keilmuan umat manusia. Sebelum konferensi dunia keantariksaan III (UNISPACE III) di Vienna, Austria, bulan Juli 1999 mereka menggelar simposium membahas tiga ancaman besar bagi penelitian astronomi seperti polusi cahaya, interferensi radio, dan sampah antariksa.
Suatu dilemma teknologis dihadapi oleh mereka. Tetapi tidak banyak orang peduli dengan kepentingan umat manusia yang diperjuangkan para astronom. Pernyataan para astronom mungkin akan dinilai anti modernisasi. Dilemma itu antara lain dirasakan para astronom yang mengikuti workshop sains antariksa dasar yang diselenggarakan PBB di Honduras 1997. Ketika itu akan dirumuskan rekomendasi agar masalah-masalah astronomis tersebut masuk dalam draft UNISPACE III. Pimpinan sidang (perwakilan dari ESA, badan antariksa Eropa) mengingatkan agar rumusan jangan terlalu keras karena akan langsung berhadapan dengan kebijakan pengembangan teknologi yang sedang pesat dilakukan oleh banyak negara.
Polusi Cahaya
Polusi cahaya adalah contoh yang bisa dirasakan oleh orang awam. Di tengah kota besar kita tidak akan lagi merasakan keindahan langit dengan jutaan bintang di galaksi Bimasakti yang tampak seperti sungai perak. Cahaya lampu kota mengalahkannya. Purnama pun tidak lagi menarik perhatian orang kota. Astronom menginginkan lingkungan malam yang gelap gulita sehingga mampu melihat bintang dan galaksi yang paling redup. Tetapi mayoritas masyarakat tentu akan menolaknya bila lampu-lampu luar harus dipadamkan atau dibatasi. Gemerlap lampu kota telah diidentikkan dengan tingkat kemajuan masyarakatnya. Observatorium Boscha di Lembang merasakan dampak polusi cahaya kota Bandung dan Lembang sendiri yang mulai berkembang. Gemerlap lampu kota Bandung terlihat jelas dari lokasi observatorium. Akibatnya, pengamatan untuk objek redup yang biasanya perlu waktu perekaman lama akan terganggu oleh cahaya latar depan yang cukup kuat.
Observatorium yang letaknya sekitar 150 km dari pusat kota pun masih merasakan dampak polusi cahaya. Pada 1878 observatorium Universitas Tokyo terletak di tengah kota. Tahun 1920-an terpaksa harus dipindahkan ke Mitaka, di pinggiran Tokyo. Dan itu belum berakhir. Akibat perkembangan Tokyo, sejak 1955 lokasi pengamatan pun satu per satu bagiannya berpindah ke berbagai tempat yang jauh dari kota. Dan pada tahun 1990-an Jepang memutuskan mendirikan teleskop raksasanya, Subaru yang berdiameter 8 meter, di Mauna Kea, Hawaii. Mauna Kea saat ini disebut sebagai tempat paling baik untuk observatorium. Namun, ancaman pengembangan kawasan wisata di Hawaii juga mulai mengkhawatirkan para astronom.
Pada 1975 W. Sulliwan mempublikasikan gambar satelit yang diberi judul “Bumi di waktu malam”. Tampak kota-kota di negara-negara maju terang benderang, sedangkan di negara-negara berkembang masih tampak redup. Dengan analisis citra satelit tersebut Kosai dan kawan-kawan (1992) menunjukkan bagaimana energi listrik digunakan secara tidak efisien di negara-negara maju, sekadar untuk penerangan dan hiasan yang berlebihan. Dapat dipastikan saat ini gemerlap “Bumi di waktu malam” sudah merambah negera-negara berkembang. Menghadapi bahaya polusi cahaya itu para astronom berupaya keras meningkatkan teknologi pencitraan yang mampu meningkatkan kontras objek langit dari cahaya latar depan. Antara lain dengan kamera CCD. Walaupun demikian untuk objek sangat redup, kamera yang sensitif tidak akan mampu mengatasi polusi cahaya yang relatif cemerlang.
Upaya lain yang mulai diterapkan di beberapa negera adalah menganjurkan pemakaian lampu natrium untuk pemakaian di jalan, taman, dan ruang terbuka lainnya. Untungnya lampu natrium tersebut tergolong hemat energi sehingga anjuran tersebut banyak mendapat sambutan masyarakat. Dengan lampu yang berwarna kuning tersebut, para astronom kehilangan ruang spektrum 5800 angtrom, tetapi jendela spektrum lainnya diharapkan relatif aman. Tantangan baru kini muncul. Saat ini sedang dikembangkan dan mulai diuji cobakan satelit yang membawa cermin raksasa yang akan memantulkan cahaya matahari untuk menerangi beberapa bagian bumi pada waktu malam atau sekadar untuk tujuan artistik atau reklame. Himpunan Astronomi Dunia (IAU) sangat menentang program tersebut karena sangat membahayakan pengamatan malam dan pasti akan merusakkan banyak instrumen yang sangat peka cahaya. IAU memanfaatkan pertemuan UNISPACE III untuk mencari dukungan kebijakan internasional untuk melestarikan kondisi pengamatan astronomi sealami mungkin.
Demikian uraian ini saya sampaikan semoga para generasi penerus bangsa mencintai dunia astronomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain dari pada itu, semoga tulisan ini bermanfaat untuk para pecinta dunia astonomi. Terima kasih. (Harrys Pratama Teguh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar