Hukum Penggunaan Ilmu Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal-PENDUKUNG BAHAN AJAR GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.
Oleh: Wahyudi Abdurrahim, Lc
Bulan Ramadhan adalah bulan suci umat Islam yang memiliki banyak nilai keutamaan. Pada bulan Ramadhan, umat Islam diwajibkan melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh. Dengan puasa itu pula, keimanan dan ketaqwaan setiap insan muslim akan di uji. Jika insan muslim berhasil menggunakan waktu ibadah pada bulan Ramadhan dengan sebagi mungkin, maka ia akan keluar dari bulan Ramadhan seperti halnya seorang anak yang baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Ia memasuki bulan Syawal menjadi orang yang bersih dari titik-titik dosa.
Pada tanggal 1 Syawal, seluruh umat Islam di dunia akan merayakan hari kemenangan. Menang dari berbagai godaan setan selama satu bulan. Menang karena dia telah menjalani sebuah latihan spiritual yang akan membawanya kepada kebersihan hati dan kelapangan jiwa. Menang karena seluruh dosa yang melekat pada dirinya telah dicuci bersih, dan dia kembali membuka lembaran baru untuk melangkah pada hari-hari berikutnya. Pada hari ini, Allah mengharamkan umat Islam untuk berpuasa. Hari ini benar-benar hari kebahagiaan bagi setiap insan muslim yang telah berhasil menjalani berbagai ujian dan cobaan serta latihan spiritual selama bulan suci Ramadhan.
Kenyataannya, meski semua sepakat bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa bagi seluruh umat Islam, serta tanggal 1 Syawal merupakan hari yang diharamkan berpuasa, namun umat Islam masih sering terjadi selisih pendapat mengenai awal dari kedua bulan tersebut. Tidak jarang dalam satu negara, satu kampung, bahwa satu keluarga memulai Ramadhan dan berlebaran di hari yang berbeda.
Perbedaan itu muncul sesungguhnya dari perbedaan para ulama dalam menggunakan sarana untuk menentukan awal dari bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian ulama memilih rukyah, sebagian lagi memilih hisab, dan ada pula yang menggabungkan antara rukyat dan hisab. Dalam rukyah sendiri masih terbagi menjadi beberapa aliran, sebagaimana dalam hisab juga terdapat beberapa aliran. Khusus untuk ilmu hisab, ada sebagian ulama yang menganggap bahwa penggunaan ilmu hisab dalam menentukan waktu-waktu ibadah, termasuk juga penentuan awal Ramadhan diharamkan. Tentunya ini berdasarkan dari pemahaman mereka terhadap berbagai dalil naqli yang dijadikan sebagai sandaran bagi ijtihad mereka.
Benarkah penggunaan ilmu hisab diharamkan?. Di bawah ini, penulis akan sedikit memaparkan tentang pandangan para ulama mengenai hukum menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal dengan menggunakan ilmu hisab.
Astronomi atau ilmu falak adalah ilmu tentang matahari, bulan, bintang dan planet-planet lainnya. Astrologi adalah ilmu perbintangan yang dipakai untuk meralam dan mengetahui nasib orang.
Prinsip wilayatul hukmi adalah salah satu dari paham fikih. Menurut imam Hanafi dan Maliki, penanggalan Qamariyah harus sama di dalam satu wilayah hukum suatu negara; inilah prinsip wilayatul hukmi. Sedangkan menurut imam Hambali, kesamaan tanggal Qamariyah ini harus berlaku di seluruh dunia, di bagian bumi yang berada pada malam atau siang yang sama. Sementara itu, menuru imam Syafi’i, penanggalan Qamariyah ini hanya berlaku di tempat-tempat yang berdekatan, sejauh jarak yang dinamakan mathla’. Inilah prinsip mathla’ madzhab Syafi’i.
II. Dalil Tidak Diperbolehkannya Menggunakan Ilmu Hisab
1. Dalil Naqli
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika kamu terhalang oleh kabut, maka sempurnakanlah jumlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari)
Wajhu al-Dilâlah
Secara jelas hadis di atas menerangkan kepada kita bahwa untuk menentukan awal bulan Ramadhan atau Syawal adalah dengan rukyah. Jika tidak dapat rukyah karena langit terhalang mendung, umat Islam cukup menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak dapat menulis dan menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini dan seperti ini dan seperti ini, maksudnya, satu bulan terkadang jumlahnya dua puluh sembilan hari dan kadang kali tiga puluh hari”.
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang tidak dapat membaca dan menghitung. Untuk itu sebagai sarana termudah terutama untuk mengetahui awal bulan adalah dengan cara rukyah.
َقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian semua berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hila tertutup awan, maka hitunglah bulan itu”.
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas dapat dipahami bahwa puasa dilarang sebelum hilal benar-benar dapat dilihat. Dalam hadis di atas menggunakan huruf lâm nahiy yang berarti larangan. Sementara dalam kaidah ushuliyyah dikatakan: Larangan menunjukkan makna haram, kecuali jika terdapat indikasi. Imam al-Sindi memberikan catatan bahwa dengan hadis ini menerangkan haramnya puasa sebelum melihat hilal dan tidak ada kewajiban puasa sebelum hadirnya hilal.
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah :185)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas dapat dipahami bahwa setiap orang Islam yang menyaksikan hilal pada bulan Ramadhan, maka umat Islam sudah diwajibkan berpuasa.
2. Dalil Aqli
Puasa adalah ibadah, sebagaimana shalat dan haji. Sementara waktu ibadah sudah ada keterangannya yang jelas dari Syariat. Dengan demikian, menggunakan ilmu hisab dalam hal yang berkaitan dengan ibadah tidak dibenarkan.
Syarat sahnya rukyat:
1. Dilaksanakan saat keadaan udara cerah dan tidak ada penghalang apapun (faktor-faktor lain yang menyebabkan tidak dimungkinkan bulan terlihat)
2. Harus diperhitungkan juga tempat yang digunakan untuk melihat dan mengamatinya. Begitu juga diperhitungkan ketinggian tempat tersebut.
3. Orang yang melihat harus orang yang adil, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Syari’at.
4. Matanya harus dalam keadaan sehat.
5. Dia harus orang yang sudah terlatih di dalam masalah ini, paling tidak dia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
6. Tidak dipengaruhi faktor-faktor kejiwaan yang mengganggu proses pengamatan.
III. Dalil Diboleh Menggunakan Ilmu Hisab
1. Dalil Naqli
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji". (QS. Al-Baqarah:189)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menunjukkan bahwa perputaran bulan merupakan petunjuk dari waktu ibadah haji dan juga ibadah lainnya.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)
Wajhu al-Dilâlah
Ayat di atas menunjukkan bahwa peredaran matahari dan bulan dapat dijadikan pedoman bagi umat manusia untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ َ
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka berpuasalah.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Wajhu al-Dilâlah
شَهِدَ dalam bahasa Arab memiliki empat makna:
1. أخبر (memberikan informasi)
شهد أعرابي عند رسول الله بأنه أهل الهلال بالأمس
“Salah seorang pedalaman memberikan informasi kepada Rasulullah bahwa dia melihat hilal kemarin.”
2. أطلع علي الأمر و عنايته (melihat sesuatu)
شهدت فلانا يصلي في المصلى
“Aku melihat si fulan shalat di masjid.”
3. حضر (Menghadiri)
شهدنا العيد
“Kami menghadiri shalat Id.”
4. علم (menyatakan atau mengetahui)
شهد الله أنه لا إله إلا هو
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia.”
Dalam ayat di atas boleh digunakan empat makna tersebut secara keseluruhan, atau juga bisa satu dari empat makna tadi. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengkalim bahwa makna شَهِدَ adalah menyaksikan saja dengan mengabaikan makna lainnya.
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya: Nabi bersabda: “Berpuasalah karena kamu melihat hilal, dan berbukalah karena kamu melihat hilal. Jika kamu terhalang oleh kabut, maka sempurnakanlah jumlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari”.
Wajhu al-Dilâlah
الرأية memiliki beberapa makna
1. العلم بالشئ (mengetahui sesuatu)
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Artinya: "Apakah kamu (Muhammad) tidak mengetahui bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah.” (QS. Al-Fil:1)
2. التقدير العقلي (perkiraan dengan akal pikiran)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (QS. Al-Shâffât:102).
3. الحسابات العلمية البحتة و التجارب المعملية (perhitungan secara ilmiah dan eksperimen di laboratorium)
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Artinya: “Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba: 6)
4. البصر (melihat dengan mata)
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Artinya: “’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh".Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.” (QS. Al-Naml:10)
5. التذكير (mengingatkan sesuatu)
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا
Artinya: “Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali'". (QS. Al-Kahfi:63).
6. الؤيا المنامية (bermimpi)
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!'". (QS. Al-Shâffât:102).
Jika kita lihat, bahwa penggunaan kata الرأية di atas, memiliki berbagai makna tergantung dari konteks ayat tersebut. Hanya saja yang perlu dipahami adalah bahwa kita tidak dapat mengikat makna الرأية pada satu makna saja mana, yaitu melihat dengan mata telanjang, kecuali dalam konteks nas terdapat indikator yang menunjukkan kepada makna tersebut. Sementara perintah الرأية dalam menentukan awal Ramadhan atau Syawal, tidak terdapat satu pun indikator yang hanya menunjukkan pada satu makna saja, yaitu melihat dengan mata. Dengan demikian, الرأية bisa berarti melihat dengan mata, atau juga melihat dengan menggunakan akal pikiran. Penggunaan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal pada hakikatnya adalah bagian dari rukyah. Hanya ia bukan rukyah dengan mata telanjang, namun rukyah dengan ilmu pengetahuan.
َقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Rasulullah Saw. Bersabda: “Janganlah kalian semua berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal. Jika hilal tertutup awan, maka hitunglah bulan itu”.
Wajhu al-Dilâlah
Dalam hadis di atas dikatakan bahwa jika pada akhir Sya'ban langit terhalang sesuatu, maka Rasulullah memerintahkan kita untuk menghitung bilangan pada bulan tersebut. Kata فَاقْدُرُوا oleh imam Ibnu hajar dan imam Ahmad diartikan sebagai hitungan (فحسبوه).
Menurut Ibnu Qudamah, فَاقْدُرُوا (ukurlah ia) mengandung makna:
1. fakmilu: sempurnakanlah hitungan 30 hari.
2. fahsibu: hisablah, lakukan perhitungan.
3. fadhayyiqu: ambillah yang singkat.
Hanya saja, arti harfiyah فَاقْدُرُوا yang merupakan arti paling tersurat dan paling generic adalah “ukurlah”, yaitu perintah untuk melakukan pengukuran. Makna ini berhubungan erat dengan kata yang sama di dalam surat Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Yunus: 5)
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Artinya: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak dapat menulis dan menghitung. Jumlah bulan ini seperti ini dan seperti ini dan seperti ini, maksudnya, satu bulan terkadang jumlahnya dua puluh sembilan hari dan kadang kali tiga puluh hari”.
Wajhu al-Dilâlah
Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Diutus di tengah-tengah orang yang tidak dapat membaca dan menghitung. Ini bukan berarti bahwa umat Muhammad Saw. adalah umat yang selamanya bodoh yang tidak pandai baca tulis. Perhitungan bulan yang sangat sederhana sebagaimana diberitahukan Rasulullah, memang sangat cocok untuk umat Islam masa itu. Hanya saja, hadis tersebut mengandung illah, yaitu tentang umat yang tidak dapat membaca dan menghitung. Dalam kaidah ushul dikatakan
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
Ketentuan hukum akan sangat bergantung kepada illah.
Jika illah tersebut telah hilang, maka hukum pun akan berubah. Demikian halnya dengan hadis di atas, mana kala umat Muhammad Saw. sudah dapat membaca dan menghitung, maka yang harus digunakan adalah perhitungan bulan dengan hitungan tersebut. Dengan kata lain, bahwa tidak menghisab bil ilmi itu dikarenakan tidak bisa, seandainya bisa maka metode hisab bil ilmi itu yang akan digunakan oleh Nabi Saw. untuk menetapkan kapan hadirnya hilal, atau dengan metode wujudul hilal. Itulah cara yang utama untuk menetapkan awal bulan itu. Karena keterbatasan fasilitaslah sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan metode ini pada saat itu. Maka Rasulullah Saw. memberikan sebuah solusi dengan cara melihat hilal fil fi’li/
bil aini. Sekaligus pernyataan Rasulullah tersebut menepis suatu anggapan bahwa Rasulullah Saw. Tetap tidak mau menggunakan hisab meskipun para sahabat pada saat itu orangnya pintar-pintar dan ilmu hisab itu sudah ada.
3. Dalil Aqli
1. Puasa adalah ibadah sebagaimana shalat dan haji. Waktu ibadah tersebut memang sudah ditentukan oleh Syariat. Hanya saja, sarana mengetahui waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, menggunakan ilmu hisab untuk mengetahui waktu ibadah dibolehkan. Kenyataannya, seluruh ulama sepakat menggunakan ilmu hisab dalam menentukan waktu shalat. Puasa adalah ibadah seperti halnya shalat. Dengan demikian, menentukan awal bulan puasa juga dapat menggunakan ilmu hisab sebagaimana shalat.
2. Melihat hilal dengan menggunakan ilmu pengetahuan (ilmu hisab) menghasilkan nilai yang bersifat qath’i, sementara sesuatu yang qath’i harus lebih di dahulukan dari pada yang zanniy.
3. Rukyah dengan mata telanjang juga mempunyai kelemahan. Setidaknya, rukyah sangat bergantung pada psikis, fisik dan kondisi udara perukyah.
4. Selain awan yang dapat menghalangi pandangan, di udara banyak partikel atau butiran kecil yang menghabat pandangan, yaitu partikel yang berasal dari air (hidrometeor), misalnya kabut, mist (kabut tipis) dan hujan dan partikel lainnya (litometeor), misalnya debu dan asab. Partikel pencemar udara juga dapat mengganggu pandangan. Partikel-partikel ini mempunyai dampak terhadap pandangan sebagai berikut:
* a. Mengurangi cahaya
* b. Mengaburkan citra dari benda yang diamati.
* c. Menghamburkan cahaya.
IV. Kriteria Wujudul Hilal
Menurut Bapak Sutrisno Muliawan Syah (Dewan Hisab dan Rukyat Pimpinan Pusat Persis) bahwa ada beberapa kriteria yang dimiliki wujudul hilal untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan:
1. Jika ketinggian hilal telah mencakup seluruh negeri, maka besoknya diputuskan masuknya tanggal bulan hijriyah.
2. Bila garis tanggal/garis ketinggian hilal membelah suatu negeri maka daerah yang belum nampak (masih negatif) mengikuti yang sudah nampak dengan alasan karena masih dalam batas wilayatul hukmi. (maka putusan ada di tangan menteri agama sebagai qadhi qudhat/ hakim penentu yang berkompeten untuk memutuskannya, yang jelas esoknya dinyatakan masuk tanggal bila hilal positif di atas ufuk mar’i).
3. Menteri dalam kondisi di atas (no.1) harus melihat bahwa negerinya merupakan wilayatul hukmi.
V. Munaqasyah dan Tarjih
1. Di lihat dari dua argumentasi di atas, yaitu antara yang membolehkan dan melarang, dalil yang digunakan bagi orang yang membolehkan lebih kuat. Hal ini dilihat dari makna rukyah dalam al-Quran yang kenyataannya tidak hanya memiliki satu makna saja.
2. Selain itu, dalam al-Quran secara jelas juga banyak menyebutkan mengenai salah satu tujuan daripada peredaran bulan, bumi dan matahari, yaitu untuk mengetahui hitungan waktu dan tahun, termasuk di dalamnya hitungan waktu ibadah.
3. Di masa-masa awal Islam terutama di zaman Nabi Muhammad Saw. bahkan pada generasi sesudahnya, penerapan awal bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan selalu didasarkan atas metode rukyatul hilal, tepatnya melihat bulan sabit dengan mata telanjang. Kalau karena satu dan lain hal terganggu dan karena rukyatul hilal tidak mungkin dilakukan, maka dengan sendirinya rukyatul hilal ditiadakan atau tidak dilakukan. Kompensasi atau jalan keluar yang diberikan untuk mengantisipasi itu, penetapan awal bulan Ramadhan harus dilakukan dengan cara menyempurnakan atau tepatnya menggenapkan bilangan bulan Sya’ban yakni menjadi 30 hari. Barulah keesokan harinya umat Islam berpuasa Ramadhan. Ketentuan ini jelas-jelas tertera pada periwayatan hadis di atas yang satu sama lain saling mendukung dan melengkapi.
4. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang nyata-nyata merupakan karunia Allah Swt. juga, selain dimungkinkan menggunakan alat-alat bantu seperti teropong (al-marâshid) dan lain-lain yang lebih meyakinkan pengelihatan mata. Sebatas ini, umumnya ulama atau bahkan seluruh ulama membolehkan pelibatan alat-alat teropong dan ilmu hisab dalam melakukan kegiatan rukyatul hilal; tetapi dalam fungsinya sebagai alat bantu atau penguat semata-mata, bukan kapasitasnya sebagai penentu. Dan karenanya, maka penetapan awal bulan Ramadhan berdasarkan ilmu hisab tetap ditolak oleh kebanyakan ulama jika kegiatan hisab dilakukan secara mandiri tanpa menyertakan rukyah yang menjadi andalannya.
5. Dalam perjalanan selanjutnya, seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju, serta kecanggihan ilmu falak, perlahan-lahan namun pasti tidak sedikit ulama yang kemudian membolehkan penetapan awal bulan Ramadhan khususnya dan bulan-bulan Qamariyah yang lain pada umumnya dilakukan berdasarkan hasil ilmu hisab dan ilmu falak semata-mata; tidak perlu lagi dilakukan dengan melibatkan rukyatul hilal. Jika perlu, hisab tidak hanya dilakukan untuk satu tahun takwim berkala, akan tetapi bulan Qamariyah khususnya awal Ramadhan dan Syawal sudah ditentukan sedini mungkin dengan bertumpu kepada ilmu hisab dan ilmu falak. Pendapat ini didasarkan pada semangat dari penyariatan (ruh al-tasyrîi) sejumlah ayat di atas yang pada intinya Allah menciptakan matahari dan bulan yang diantara tujuan dan fungsi utamanya ialah untuk menetapkan prihal bilangan tahun dan bulan bahkan pekan dan hari. Belum lagi memperhatikan kondisi obyektif ayat-ayat al-Quran itu sendiri yang secara lugas mendorong manusia muslim untuk menggali ilmu-ilmu hisab dan falak.
VI. Penutup
Sebagai kesimpulan terakhir, bahwa penetapan awal bulan Qamariyah utamanya awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah boleh dilakukan dengan metode hisab di samping juga boleh menggunakan metode rukyah. Akan lebih baik manakala awal penetapan bulan Qamariyah dilakukan dengan cara kombinasi, dalam artian menggabungkan atau memadukan antara keduanya, yakni dengan hisab rukyah sekaligus atau rukyah hisab secara pararel. Hanya saja perlu dipertimbangkan masak-masak dari segi efisiensi tenaga, waktu dan terutama pembiyayaannya.
Atas dasar ini maka sekiranya boleh diprediksikan, ke depan penetapan awal bulan Qamariyah berdasarkan pendekatan hisab akan semakin dianut banyak orang seperti halnya penetapan arah kiblat, waktu shalat dan hari-hari puasa. Semuanya telah digantikan dengan hasil-hasil rekayasa IPTEK dalam kaitan ini kompas dan jam.
Demikianlah kiranya sedikit mengenai pandangan ulama tentang hukum penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Meski pembahasan ini terlalu sederhana, namun setidaknya dapat memberikan sedikit titik terang mengenai sebab perbedaan pandangan ulama tersebut. Sikap kita kemudian adalah toleransi terhadap perbedaan. Toh kedua-duanya memiliki sandaran hukum. Hanya sebagai insan akademis tentu kita tidak boleh taklid buta, mengikuti perkataan “atasan” kita tanpa mengetahui argumentasi mereka.
Semoga dengan ini umat Islam tidak terpecah belah. Semoga antara satu dengan yang lainnya ada kesepahaman sehingga kita tetap dapat bersatu meski dalam bingkai perbedaan. Toh ulama kita terdahulu juga sering berbeda, namun mereka tetap dapat hidup berdampingan. Mereka sangat hormat terhadap pendapat yang dipegang oleh ulama lainnya. Fanatisme buta hanya akan membawa mudarât bagi umat Islam. Dan pada akhirnya, yang akan bersorak gembira adalah musuh-musuh Islam. Wallau A’lam.
* Makalah ini dipresentasikan dalam acara Pelatihan Ilmu Falak, “Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah; Studi Kasus di Indonesia”, di Sekretariat Kelompok Studi Mahasiswa Riau (KSMR), Sabtu, 8 Maret 2008M/ 29 Safar 1429H.
DAFTAR PUSTAKA
* 1. Dr. Amir Husain Hasan, al-Adillah al-Syar’iyyah fiy Itsbâti al-Syuhûr al-Arabiyyah bi al-Hisâbât al-Falakiyyah, Dâr al-Kitâb al-Dzahabiy, tanpa tahun
* 2. Mamud Ahmad Syakir, Awa’il Syuhur al ‘Arabiyah, Hal Yajuzu Syar’an Itsbatuha bi al-Hisab al-Falaki, Maktabah Ibn Taimiyah-Kairo, cet.II, 1407 H
* 3. Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Nahwu Shiyâghah Mabâdi’ al-Taqwîm al-Islâmiy al-Âlamiy
* 4. ---------------------------------------------------, Sabâhah Fadhâiyyah fiy Âfâqi ‘Ilmiy al-Falak, Maktabah al-Azizi, Kuwait
* 5. Dr. IR. H.S Farid Ruskanda, M.Sc, 100 Masalah Hisab dan Rukyat, APU, Gema insani press, Jakarta 1996
* 6. Ahmad Zain an-Najah, MA, Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab Serta Pengaruhnya terhadap Persatuan Umat, Makalah dalam Himpunan Putusan Tarjih Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo Mesir
* 7. Kamus Besar Bahasa Indonesia
* 8. Sutrisno Muliawan Syah, Imkanur-rukyat atau Wujudul Hilal?, Makalah yang dipresentasikan pada acara Workshop Nasional Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah
* 9. Prof. Dr. H.M Amin Summa, S.H., M.A., Penentuan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Muhammadiyah, Makalah yang dipresentasikan pada acara Workshop Nasional Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar