Pedoman Hisab Muhammadiyah
Dalam khazanah intelektual Islam klasik ilmu hisab sering disebut dengan ilmu falak, miqat, rasd, dan hai'ah. Tak jarang pula disamakan dengan astronomi1 atau "falak ilmi". Namun dalam perjalanannya ilmu hisab hanya mengkaji persoalan-persoalan ibadah, seperti arah kiblat, waktu salat, awal bulan, dan gerhana. Yahya Syami dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Safhat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamiy memetakan sejarah perkembangan ilmu hisab menjadi dua fase, yaitu fase pra-Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis, dan Yunani) dan fase Islam.2
Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental dari bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan hisab di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Matali' al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.3
Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh hisab di kalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan–cendekiawan Eropa dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Frederic Rosen.4
Selain al-Khwarizmi, tokoh-tokoh yang ikut membangun dan mengembangkan ilmu hisab, diantaranya Abu Ma'syar al-Falakiy (w. 272 H/ 885 M) menulis kitab yang berjudul Haiatul Falak, Abu Raihan al-Biruni (363-440 H/973-1048 M) dengan kitabnya Qanun al-Mas'udi, Nasiruddin at-Tusi (598-673 H/1201-1274 M) dengan karya monumentalnya at-Tadzkirah fi 'Ilmi al-Haiah,5 dan Muhammad Turghay Ulughbek (797-853 H/1394-1449 M) yang menyusun Zij Sulthani. Karya-karya monumental tersebut sebagian besar masih berupa manuskrip dan kini tersimpan di Ma'had al-Makhtutat al-'Arabiy Kairo-Mesir.
Di Indonesia ilmu Hisab juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai bapak hisab Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari.6 Selain Syekh Taher Jalaluddin pada masa itu juga ada tokoh-tokoh hisab yang sangat berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,7 Ahmad Rifa'i, 8 dan K.H. Sholeh Darat.9
Selanjutnya perkembangan ilmu hisab di Indonesia dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah. Dalam perjalanannya Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia. Sayangnya hingga kini Muhammadiyah belum memiliki pedoman tentang hisab secara komprehensip. Oleh karena itu kehadiran pedoman hisab Muhammadiyah yang bersifat teoritis dan praktis merupakan sebuah keniscayaan.
apakah penggunaan hisab itu syar’i dan apakah sesuai dengan sunnah Nabi saw? Apa dasar yang membenarkan penggunaan hisab itu?
Ada beberapa alasan bagi kebolehan penggunaan hisab, baik dari sudut pandang syar’i maupun dari sudut pandang astronomis (falakiah). Pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari surat Yunus menegaskan bahwa kegunaan perhitungan gerak matahari dan Bulan itu antara lain adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar itu Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada asasnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.”
Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat, maksudnya perintah yang disertai ilat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyala
h sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Kedua, alasan astronomi, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dr. Nidhal Qasum, salah seorang penulis, mengeluh karena menurutnya adalah suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga hari ini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas, padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat. Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada h-1.
Ketiga, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.
Ragaan 1 memperlihat keadaan rukyat Syawal 1404 H pada hari Jumat tanggal 29 Juni 1984. Daerah dalam garis lengkung adalah kawasan yang dapat melihat hilal Syawal 1404 H pada hari Jumat sore 29 Juni 1984. Ini berati bahwa kawasan tersebut (sebagian besar benua Amerika dan satu kawasan kecil di Afrika) memasuki 1 Syawal 1404 pada hari Sabtu 30 Juni 1984. Sedangkan kawasan di luar garis lengkung yang meliputi Eropa, Asia, Australia dan Afrika kecuali satu kawasan kecil di pantai barat, memasuki 1 syawal 1404 lusa, yaitu hari Ahad 1 Juli 1984 karena kawasan itu belum dapat merukyat pada hari Jumat sore sehingga harus menggenapkan Ramadan 30 hari. [Catatan: menag tahun 1984 mengumumkan Idulfitri 1404 H jatuh hari Sabtu 39 Juni 1984 atas dasar laporan rukyat dari beberapa tempat (tinggi Bulan 2º s/d 2,5º). Thomas Djamaluddin mengeliminir rukyat ini dan menganggapnya tidak akurat, para perukyat terkicuh oleh obyek-onyek bumi atau angkasa].
Selain itu rukyat secara normal hanya dapat dilakukan dari kawasan yang terletak 60º ke utara dan ke selatan dari garis khatulistiwa. Kawasan pada garis lingtang tinggi (di atas 60º) akan terlambat dapat melihat hilal. Bahkan pada kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin Bulan hanya terlihat pada saat telah besar.
Lingkaran Artika adalah kawasan di atas garis lintang utara 66º 33’ 39” untuk tahun 2009, dan Lingkaran Antartika adalah kawasan di atas garis lintang selatan. Kawasan itu adalah kawasan yang mengalami malam terus menerus selama musim dingin dan siang terus menerus selama musim panas. Lama malam dan siang pada musim-musim tersebut tergantung jaraknya ke kutub. Semakin dekat ke kutub semakin lama malam dan siang terus menerusnya. Di kutub sendiri malam dan siang terus menerus mencapai 6 bulan. Pada musim dingin itu matahari berada di bawah ufuk. Oleh karena itu Bulan ketika melintasi garis konjungsi berada dekat matahari dan karena itu juga tidak muncul ke atas ufuk, kecuali setelah amat jauh dari garis konjungsi, yaitu saat Bulan itu sudah sangat besar. Oleh karena itu rukyat tidak bisa dipedomani karena munculnya Bulan yang tidak normal.
Keempat, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal 9 atau 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti terjadinya rukyat di New York (selisih waktu 12 jam) karena ketika di New York rukyat terjadi sekitar pukul 06:00 sore misalnya, di Indonesia sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia.
Kelima, rukyat tidak memungkinkan orang di seluruh dunia untuk melakukan puasa Arafah pada hari yang sama. Apabila di Mekah pada suatu sore rukyat telah berhasil dilakukan, sementara di Indonesia belum dapat dilakukan, maka akibatnya terjadi perbedaan memasuki bulan Zulhijah dan akibatnya terjadi perbedaan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah sehingga terjadi perbedaan atau permasakahan mengenai pelaksanaan puasa Arafah.
Oleh karena itu dalam upaya dunia Islam saat ini untuk menyatukan penanggalan Hijriah internasional, rukyat telah ditinggalkan. Ini tercermin dalam keputusan “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar)” yang diselenggarakan oleh ISESCO di Rabat 15-16 Oktober 2008 yang berbunyi:
Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.
Pada saat ini ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) sedang melakukan uji validitas empat usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar