ES KUTUB UTARA MENCAIR ??? SIAPA TAKUT …
Adakalanya pengetahuan itu justru membelenggu kita untuk berkembang, jika kita menganggap pengetahuan itu sebagai kebenaran mutlak yang tak bisa kita revisi dan inovasi. Iya, pengetahuan apapun itu, karena tidak ada kebenaran mutlak kecuali Dia, begitu kata teman yang sekejap membuatku bengong.
Pada hakikatnya semua manusia itu diciptakan sangat cerdas, pendidikan diharapkan mampu menuntun peserta didik dengan pembekalan pengetahuan dan mengimajinasikannya dalam berbagai permasalahan kehidupan. Dengan itu maka pengetahuan akan semakin up to date dan nyata. Namun kenyataannya, kebanyakan dari kita belum memahami essensi ini, betul nggak ? Terkadang kita menolak mentah-mentah perihal yang baru (yang tak sesuai dengan kebenaran relatif kita) dan akhirnya menjadi kontroversi. Padahal belum kita uji tingkat kebenarannya. Kita nggak boleh secepat itu mensintesis “sesat” pendapat orang kawan, buktikan dulu. Okey ?
Argumen penilaian “baik” atas seseorang masih sekedar didasarkan pada banyaknya pengetahuan orang itu. Ketika ada seseorang yang pendapat-pendapatnya “mengutip” pendapat orang yang kita anggap hebat, kitapun segera membuat kesimpulan bahwa orang ini hebat. Itulah ilmu komunikasi, sebuah cara mempengaruhi orang lain. Hebat dalam kompilasi itu belum final, kawan. Perlu adanya peningkatan ilmu pengetahuan itu menjadi karya baru yang bisa dipatentkan tentunya. Karena pendidikan bukan arena untuk menyeragamkan pengetahuan, namun sebagai sarana pengembangan diri.
Aku pun semakin sadar banyak hal yang selama ini kuanggap kebenaran terkadang hanyalah sebuah isu, dugaan, atau bahkan hanya propaganda semata yang belum tentu diakui keilmiahannya, namun dengan mudahnya aku percaya karena sifat kepopuleran dari sebuah pengetahuan. Aku pun belum menguji kebenarannya pengetahuan-pengetahuan itu walaupun dengan keterbatasan kemampuanku.
Banyak isu seperti sejarah-sejarah yang kita tahu itu bisa saja hanya sebuah dongeng, untuk menguatkan posisi penguasa. Ada juga isu krisis ekonomi global, perubahan iklim global, isu-isu lingkungan hidup, isu-isu mistis, isu teknologi, isu krisis peradaban, isu krisis moral, isu krisis energi dsb yang kadang ada muatan politik di balik itu. Salah satu isu yang kita bahas disini adalah isu pemanasan global / global warming.
Tulisan ini bukan bersifat meragukan pengetahuan tentang fenomena global warming, karena kepercayaanku juga menyatakan akan adanya fenomena ini. Entah penyebabnya akibat aktivitas manusia ataupun memang terjadi secara alamiah. Karena seperti kita ketahui bahwa bumi ini selalu beraktivitas sejak keberadaannya hingga akhir masanya. Aktivitas ini terkadang bersinggungan dengan aktivitas manusia sehingga menimbulkan bencana.
Aktivitas bumi (dinamika bumi) ini penyebabnya ada yang berasal dari dalam bumi (tenaga endogen) yaitu aktivitas tektonisme yaitu pergeseran lempeng, penunjaman yang menyebabkan fenomena patahan dan lipatan kemudian diikuti aktivitas vulkanisme, yang terwujud dalam fenomena gempa, gunung meletus dsb. Selain penyebab dari dalam bumi, ada pula penyebab dari luar bumi, karena adanya tenaga eksogen yaitu pelapukan, pelarutan dan tertransport yang berwujud erosi, longsor dan akhirnya tersedimentasi. Fenomena ini terjadi terus menerus layaknya siklus karena ada aktivitas positif (menaikkan muka bumi) dan negative (menurunkan muka bumi). Lalu layakkah dikatakan bahwa bumi yang bergejolak itu disebabkan karena tua?
Kita bisa menyimpulkan bumi itu muda, dewasa atau tua jika kita tahu rentang usia bumi. Kapan bumi ada sampai memprediksikan bumi itu hancur, nah dengan ini baru kita bisa mengatakan bumi ini tergolong muda atau tua..Bukan kah begitu ???
Pada intinya bumi ini memang mengalami dinamika termasuk fenomena mencairnya es kutub utara yang tentunya akibat adanya tenaga eksogen yang disinyalir sebagai akibat fenomena global warming. Dan akhirnya dikaitkan dengan tenggelamnya daratan di muka bumi dan bahkan dikait-kaitkan dengan fenomena akhir jaman. Belakangan ini, isu inilah yang dijadikan komoditas dalam bidang perfilman antara lain film global warming dan 2012 yang akhirnya menjadi booming.
Benarkah dampak pencairan es kutub utara sedahsyat itu ?
Tulisan yang sekedar “sok tahu” ini memang jauh dari segi ilmiah, karena tidak dilengkapi data-data akurat tentang global warming baik itu proses terjadinya maupun perkiraan dampak. Namun dengan berbekal kecakapan spasial kita akan mencoba mengukur secara sederhana, berapa sumbang sih pencairan es kutub utara dengan fenomena tenggelamnya daratan di muka bumi.
Adapun langkah-langkahnya simple saja yaitu :
Pertama, menghitung volume es kutub utara yang berada di atas daratan
Kedua, mengukur pengaruh pencairan seluruh es kutub utara terhadap kenaikan muka air laut dunia
Langkah menghitung volume es kutub utara sebagai berikut :
Sebelumnya kita plot sample titik-titik ketinggian dan batas-batas es kutub utara dari google earth kemudian memodifikasi menjadi garis-garis kontur yaitu sebagai berikut :
Titik Tinggi dan Garis Batas Kutub Utara
Kontur di Kutub Utara
Nah, setelah itu kita bawa ke arcview dan dijadikan 3 dimensi model menjadinya seperti ini :
Peta Kutub Utara di Arc View
Loh kok bentuknya beda (sebenarnya orientasinya yang kelihatan beda) ??? Ya memang, kita memandang kutub utara di google earth dengan proyeksi azimuth normal, namun ketika kita bawa ke arc view berubah menjadi proyeksi tabung normal, sehingga terjadi perbedaan penjembrengan. Tapi tak perlu khawatir karena meskipun kelihatan orientasinya berbeda, namun sebenarnya bentuknya masih sama (conform), selain itu juga memenuhi persyaratan peta yang lain yaitu jaraknya sama (equidistant) dan luasnya sama (equivalent). Yang secara sederhana dapat dilihat dari model proyeksi di bawah ini :
Jenis-jenis Proyeksi
Kenapa hal ini tidak menjadikan masalah? Karena arcview sudah dilengkapi sistem koreksi proyeksi yang baik dan bisa diset sesuai kebutuhan kita. Dan untuk kepentingan ini kita hanya membutuhkan informasi luas absolute es (planimetric area), luas relative / permukaan es (surface area) dan yang paling penting adalah volume es. Hasil perhitungan disajikan dalam gambar dibawah ini :
Perhitungan Volume Kutub Utara
Planimetric Area = 1044,081 km2
Surface Area = 294164,996 km2
Volume = 1014785,376 km3
Langkah selanjutnya adalah menghitung kasar kenaikan muka air laut jika seluruh es dikutub utara mencair yaitu :
Membagi volume seluruh es kutub dengan permukaan seluruh lautan muka bumi (maksudnya es yang mencair dianggap dibagi rata lautan seluruh dunia gitu loh… Bukankah ada sistem bejana berhubungan di negeri perairan dunia ? )
Pertama kita cari dulu luas lautan seluruh dunia yaitu 446.153.846 Km2
Setelah itu kita bagi volume es kutub dengan luas lautan sehingga kita dapatkan nilai ketinggiannya (h). Nilai ketinggian inilah yang dimaksud kenaikan muka air laut dunia. Perhitungan kenaikan muka perairan dunia adalah sebagai berikut :
Kenaikan muka air laut =
1.014.785,376 km3 = 0,00227451899 Km = 2,27 M
446.153.846 Km2
Nah dari hasil kenaikan muka air laut itu kita bisa memprediksikan daerah mana saja yang ikut tenggelam (yang tentunya daerah pesisir), tinggal kita ukur saja panjang jangkauan kenaikan dari masing-masing pesisir. Kita bisa contohkan Kota Semarang.
Kontur yang menjadi batas muka air pasca penaikan perairan adalah 2,27 Meter. Kita bulatkan saja menjadi 3 Meter dpal.
Tenggelamnya Kota Semarang Pasca Pencairan Es Kutub Utara
Maka daerah yang memiliki nilai ketinggian di atas kontur itu kita anggap aman / tidak berada di bawah muka air laut. Sekarang mari kita lihat dari persepsi bencana. Selama manusia itu bisa menghindari daerah yang ditingkatkan muka air lautnya ini, maka hal ini bukanlah sebuah masalah (bencana). Tenang aja, masih banyak lokasi lain yang lokasinya lebih tinggi yang bisa dijadikan tempat berlindung. Jadi gak perlu repot-repot ke bulan seperti yang didoktrinkan seseorang kepadaku ketika aku masih kecil, karena heboh menilai teknologi USA yang “katanya” bisa sampai ke bulan itu. Tambahnya kelak manusia akan dipindahkan ke sana. Memangnya USA mau ngajak-ngajak kita ke bulan ? Katanya musuh … hehehe
Jadi fenomena yang diprediksikan paling besar pengaruhnya itupun tidak dapat memusnahkan bumi seketika seperti layaknya kiamat. Lalu layakkah fenomena ini disetarakan dengan fenomena kiamat yang dijanjikan Tuhan dalam kitab-Nya?
Komentar : 14 Komentar - komentar »
Tag: Geografi Fisik
Kategori : GEOGRAFI
TANAH SOLO
28 07 2009
MACAM TANAH DI SOLO
Oleh : Budi Setiyarso
Persebaran tanah di lokasi penelitian ditunjukkan oleh Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 yang disusun oleh Supraptoharjo dkk (1966) dalam Baiquni (1988 : 32). Berdasarkan Peta Tanah Tinjau tersebut, macam tanah di lokasi penelitian meliputi :
- Assosiasi Grumusol Kelabu Tua dan Mediteran Coklat Kemerahan
Tanah ini merupakan kombinasi campuran antara tanah grumusol kelabu tua dan mediteran coklat kemerahan. Bahan induknya adalah tuf vulkan alkali basis dengan fisiografi vulkan. Di Kota Surakarta jenis tanah ini berada di bagian utara kota, yaitu pada posisi 477907 – 484882 mT dan 9160810 – 9168388 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 2.085,74 ha.
- Mediteran Coklat Tua
Tanah ini berada di bagian timur laut Kota Surakarta yaitu pada posisi 481512 – 485500 mT dan 9164415 – 9167416 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 688,34 ha. Bahan induknya adalah tuf vulkan intermediair dan berada pada fisiografi vulkan dan bukit lipatan.
- Aluvial Coklat Kekelabuan
Tanah ini berada di tepi Bengawan Solo, yaitu pada posisi 479806 – 481866 mT dan 9160442 – 9162399 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 138,36 ha. Bahan induknya adalah endapan liat yang menempati fisiografi dataran. Tanah ini termasuk jenis tanah aluvial yang salah satu sifatnya tergantung dari asal tanah itu diendapkan sehingga kesuburannya ditentukan oleh keadaan bahan asalnya.
- Regosol Kelabu
Tanah ini berada di bagian barat dan selatan Kota Surakarta, yaitu pada posisi 474435 – 481174 mT dan 9160751 – 9166784 mU. Luas tanah ini di Kota Surakarta adalah 138,36 ha. Bahan induknya tanah ini adalah abu/pasir vulkan intermidiair yang menempati fisiografi vulkan.
tanah
Komentar : Tinggalkan sebuah komentar »
Tag: Geografi Fisik
Kategori : GEOGRAFI
GEOLOGI SOLO
5 06 2009
Oleh : Budi Setiyarso
Dikutip dari Skripsi Penulis berjudul “Studi Reaksi Manusia terhadap Bahaya Banjir Kota Surakarta”
Van Bemmelen membagi Zone Solo menjadi 3 bagian yaitu : Sub Zone Blitar, Sub Zone Solo (sensustrico) dan Sub Zone Ngawi. Menurut sistem pembagian ini Kota Surakarta termasuk dalam Sub Zone Solo. Sub Zone Solo merupakan depresi endapan vulkanik muda yang membatasi sisi selatan Perbukitan Kendeng dan terdiri dari sederetan vulkan kuarter. Aliran permukaan menuju sub zone ini, sehingga material penyusun Sub Zone Solo adalah material endapan. Batuan di Kota Surakarta merupakan endapan dari Vulkan Lawu, Vulkan Merapi, Vulkan Merbabu, Perbukitan Kendeng dan Pegunungan Selatan.
Material pembentuk batuan di Kota Surakarta terdiri dari bahan vulkanis Merapi dan Lawu yang berumur holosen. Kota ini terletak pada ujung timur endapan yang berasal dari Vulkan Merapi, ujung utara endapan dari Pegunungan Selatan dan ujung barat endapan yang berasal dari Vulkan Lawu (Widiyanto, 1982 dalam Baiquni, 1988 : 24).
Berdasarkan Peta Geologi dari Geohidrologic Map Surakarta (dalam Baiquni, 1988) terlihat bahwa batuan di lokasi penelitian terdiri dari :
- Aluvium (AL)
Satuan batuan ini terdapat di Kota Surakarta bagian tengah hingga ke selatan yaitu di sebelah timur Jalan Jenderal Ahmad Yani, ke utara hingga Kali Pepe, ke timur hingga Stasiun Balapan dan sebagian sampai Bengawan Solo. Batuan aluvium berada pada posisi 477144 – 484568 mT dan 9160481 – 9165815 mU. Luas satuan batuan ini adalah 2.033,63 ha. Ketebalannya berkisar beberapa centimeter hingga beberapa meter. Terdiri dari lempung, lumpur, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan berangkal.
- Formasi Notopuro (NP)
Formasi Notopuro terdapat di bagian timur laut Kota Surakarta yaitu di sebelah utara Stasiun Jebres, ke barat hingga Stasiun Balapan, ke utara hingga Kantor Lurah Mojosongo dan ke timur hingga Bengawan Solo. Formasi batuan ini berada pada posisi 478718 – 485318 mT dan 9163239 – 9167290 mU. Luas satuan batuan ini adalah 1574 ha. Batuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, lanau dan lempung. Kedudukannya menindih tidak selaras dengan batuan yang lebih tua dan terindih tak selaras dengan aluvium. Satuan ini merupakan endapan undak sungai.
Pada Formasi Notopuro ditemukan struktur silang-siur, “toreh dan isi” dan perlapisan bersusun. Secara setempat ditemukan fosil Bibos sp. dan Cervus Sp yang diduga berumur plistosen (Samodra, 1984 dalam Surono dkk, 1988 : 5)
- Formasi Kabuh (KB)
Formasi Kabuh terdapat di bagian utara Kota Surakarta, tepatnya di utara Kantor Lurah Mojosongo hingga Kali Kebo. Formasi batuan ini berada pada posisi 481136 – 484385 mT dan 9166244 – 9167790 mU. Luas Satuan batuan ini adalah 240,43 ha. Batuan ini umumnya terdiri dari breksi vulkanik, tuff sandstone dan konglomerat.
- Batuan Vulkanik Muda (YV)
Satuan batuan ini terdapat di bagian barat dan utara Kota Surakarta. Di bagian barat Kota Surakarta tepatnya di sebelah barat Jalan Jenderal Ahmad Yani, sedangkan di bagian utara tepatnya di selatan dan barat Kali Pepe serta di tepi Kali Pelemwulung. Batuan vulkanik muda berada pada posisi 474406 – 479133 mT dan 9162923 – 9167446 mU. Luas Satuan batuan ini adalah 778,84 ha. Batuan ini umumnya merupakan endapan lahar dari Vulkan Merapi. Batuan umumnya terdiri dari lava andesit, breksi, lahar, tufa hingga basalt. Fosil tidak ditemukan. Aktivitas diduga dimulai sejak plistosen akhir.
geologi
Peta Geologi Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar