Kamis, 18 November 2010

Sibâhah Fadhâiyah fîy Afâqi ‘ilmi’l falak - BAHAN PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh : Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman
Resentator : Faiq Fuadi

Masih ingatkah kisah Nabi Ibrahim dalam pengembaraannya mencari Tuhan? Bagaimana ia melalui proses yang panjang sampai bisa menemukan Allah? Dan bagaimana beliau mampu menyimpulkan bahwasanya makhluk hidup itu harus monoteisme?

Dalam bukunya Sabâhah fadhâiyah fîy afâqi ‘ilmi’l falak, Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman menerangkan di manakah urgensi belajar ilmu –dalam hal ini ilmu Falak? Apa sebenaranya tujuan dari ilmu ini? Apakah hanya sekedar mengetahui serta memahami benda-benda angkasa dan setalah itu kita simpan di salah satu “rak” otak kita? Profesor yang kemarin menghadiri seminar falak international yang diprakarsai Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Jakarta ini memberikan ulasanya bagaimanakah proses kerja orbit alam kita ini. Bagaimana mungkin alam yang begitu besar dan rumit menjadi bagian dari tata surya yang terdiri dari milyaran bintang dapat berjalan selaras dan serasi dan bertabrakan satu sama lain. Benarkah ini adalah kehendak alam yang datang dari sebab akibat? Dari beberapa pertanyaan di atas, muncul satu kesimpulan pasti bahwa kerumitan proses terjadinya tatasurya, peredaran bintang sesuai dengan orbitnya, dan lain sebagainya adalah runtutan alam yang memiliki satu pengatur murni, Ia tak lain adalah Tuhan, Allah Swt..

Bagi pemula, buku ini cocok untuk seseorang yang ingin mendalami tatasurya astronomi serta falak syari. Begitu lugasnya Dr. Sulaiman menguraikan kedashyatan al-Quran dari sisi ilmu pengetahuan modern. Di sini terlihat banyak sekali pembahasan yang tampak rumit dan kompleks dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi namun ternyata sudah terekam dalam al-Quran.

Dalam pembahasanya, buku ini dibagi dalam sembilan bab. Bab satu menerangkan secara garis besar apa itu ilmu falak dan urgensinya dalam kehidupan manusia. Bab tiga sampai bab delapan buku ini secara tuntas menerangkan tentang benda-benda langit dan pendukungnya, seperti komet, planet, garis peredaran, zat pembentuknya dan lainya. Sedangkan falak syari dijelaskan dalam bab sembilan.[]

Menelisik Metodologi Hisab-Falak Muhammadiyah; Studi Historis-Komparatif
06 Maret 2009 0:04
I. Mukadimah

Dari sekian banyak cabang ilmu falak (astronomi), Falak syar’i menempati pososi strategis dalam Islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan denga falak syar’i. Paling tidak ada empat hal: Menentukan awal bulan Qamariyah, Menentukan jadwal shalat, Menentukan bayang dan arah kiblat, Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana. Kaitanya dalam penentuan awal bulan Qamariyah sampai saat ini belum ada satu sistem yang disepakati dan digunakan secara bersama-sama. Ini dikarenakan penentuan tersebut adalah masalah ijtihâdy.


II. Defenisi Falak (Astonomi)

Kata falak bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa. Astronomi berasal dari kata Astro berarti Bintang, dan Nomia berarti Ilmu. Ilmu Falak (Astronomi) adalah Ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi, dan matahari) secara sistematis dan ilmiah, demi kepentingan manusia.

Kata falak juga tersebut dalam al-Quran, antara lain QS.Yasin ayat 40:

لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل فى فلك يسبحون

Carlo Nillino berpendapat kata falak yang banyak beredar dalam al-Quran bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu Pulukku yang berarti edar.
Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya “sama”, sama dalam objek yang diamati (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya.
Secara alamiah, ilmu ini terus berkembang, sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini, meski obyeknya tetap sama. Diantara ragam penamaan tersebut; 'Ilm al-Nujûm, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al-Aflâk, 'Ilm Hay'ah al-'Âlam, 'Ilm al-Aflâk, 'Ilm Shinâ'ah al-Nujûm, 'Ilm al-Tanjîm, 'Ilm Shinâ'ah al-Tanjîm, 'Ilm Ahkâm al-Nujûm.

Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama Ilmu Falak mengakar di peradaban Islam sampai saat ini.

III. Sejarah & Peradaban Falak

Pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada di dalam dan sekitarnya. Bangsa-bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia, dan Yunani misalnya, masing-masing telah mengenal Astronomi (falak) dan Astrologi (nujum) secara bersamaan dengan cara masing-masing.

Kegiatan astronomis dan astrologis telah dilakukan sejak dahulu kala oleh masyarakat dalam peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, namun belum menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Kemudian muncul peradaban Yunani pada abad ke-6 SM, yang menjadikan astronomi sebagai ilmu pengetahuan. Thales dianggap sebagai ilmuwan yang mempelopori ilmu Astronomi klasik di Yunani. Dia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Muncul tokoh-tokoh lain seperti Phytagoras, Aristarchus (teori Heliosentris), Hiparchus (teori Geosentris), Cladius Ptolomeus (w.160 M) lewat karyanya Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga di masa awal abad pertengahan.

Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh teori Heliosentris Nicholas Copernicus di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teori bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy) yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Galileo Galilei (w.1642 M) menciptakan Teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan Teleskop tersebut memperkuat konsep Heliosentris Copernicus.

Dalam Islam, pada awalnya Ilmu Falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian nujumisme (Astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1) Kebisaan hidup mereka di padang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, mengetahui pergantian musim. 2) Keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan yang sama (Astrologi).

Datangnya Rasulullah Saw. beserta risalah-nya, menjelaskan bahwa masa bagi Allah Swt. adalah sama. Ini membawa konsekwensi dalam Islam kegiatan astrologi adalah dilarang.

Sepeninggal Rasulullah Saw. tepatnya pada masa Dinasti AbbasiyyahJa'far al-Mansurberjasa meletakkan Ilmu Falak pada posisi istimewa, setelah Ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu, Ilmu Falakdikenal juga Astronomitidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain seperti; ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan. Pada pemerintahan Khalifah al-Makmun, kajian Astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana Falak Islam semisal al-Battani (w.317 H), al-Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At-Thusy (w.672 H), al-Biruny (w.442 H).

Di masa al-Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku “Miftah al-Nujum” yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al-Hakim) dimasa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary, Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al-Barmaky dan disempurnakan oleh al-Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H).

IV. Penetapan Awal-awal Bulan Qamariyah; Rukyah dan Hisab

Pada masa Rasulullah Saw., proses melihat (ru’yah) hilal sangat sederhana. Cukup dengan menanti matahari terbenam di hari ke-29, lalu mencari bulan sabit. Jika ada dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan malam ini adalah tanggal satu (pergantian hari di kalender hijriah terjadi ketika maghrib). Jika hilal tidak terlihat, bilangan bulan akan digenapkan menjadi 30. Berarti, esok hari masih tanggal 30 bulan yang sama. Tanggal satu akan jatuh besok sore. Cara ini sangat sederhana dan sangat cocok dengan keadaan umat Islam pada masa itu yang sebagian besar buta huruf (ummiy).

Periode revolusi bulan terhadap bumi lamanya 29.530589 hari. Nyaris 29.5 hari. Dengan memanfaatkan ini, disepakati bahwa lamanya suatu bulan berseling antara 29 dan 30 hari. Metode pembuatan kalender hijriah yang seperti ini disebut dengan metode hisab urfi.

Hisab urfi tidak selalu mencerminkan fase bulan yang sebenarnya. Ia hanya metode pendekatan. Satu siklus fase bulan yang lamanya 29.53 hari didekati dengan 29 dan 30 hari. Karenanya, untuk keperluan ibadah, meru’yah (melihat) hilal secara langsung tetap harus dilakukan

Metode hisab lain yakni dengan menghitung posisi bulan yang sebenarnya, disebut dengan hisab hakiki. Hisab Hakiki dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni hisab hakiki taqribi, tahkiki, dan kontemporer. Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus dan nilai konstanta yang berbeda.

Penanggalan Islam Hijriyah didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan terhadap bumi). sedangkan penaggalan Miladiyah/Masehi didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi terhadap matahari). Awal bulan Qamariyah diawali dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat (the first visible crescent). Untuk saat ini dengan adanya ilmu astronomi mutakhir, yang sudah sangat akurat dalam menghitung, menentukan dan memperkirakan seluk beluk penentuan hilal dengan sangat teliti dan detail (misalnya ketinggian derajat hilal di atas ufuk/horison dan perbedaan sudut ke arah hilal dengan ke arah matahari). Dalam ketelitian ini kemungkinan terjadi kesalahan adalah 1 banding 3600, dan tingkat ketelitian ini sudah melebihi dari cukup untuk menentukan awal bulan Qamariyah.


1. Rukyah

Ru’yah secara etimologi adalah melihat. Bermakna melihat dengan mata (bi’l ‘ain), bisa pula bermakna melihat dengan ilmu (bi’l ‘ilmi). Rukyah dimaksud dalam hal ini adalah melihat hilal di akhir Sya’ban/Ramadhan untuk menentukan tanggal satu Ramadhan/Syawal.

Cukup banyak hadits yang menyatakan tentang rukyah hilal terkait dengan penetapan Ramadhan dan Syawal, antara lain:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ ‏"‏ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ‏"‏ ‏‏.‏

Dari informasi makna zhahir contoh hadits di atas, agaknya jelaslah bahwa dalam memulai dan mengakhiri puasa dan hari raya hanya dengan rukyah hilal saja, yaitu terlihatnya hilal di awal Ramadhan dan Syawal sesuai dengan keumuman dan keliteralan dari hadits di atas. Dengan kriteria jika awan dalam keadaan cerah pada saat terbenam matahari tanggal 29 Sya’ban maka esok harinya adalah awal puasa, demikian pula jika hilal terlihat pada tanggal 29 Ramadhan esok harinya adalah hari raya dan rukyah hilal mutlak dilakukan. Namun jika terdapat penghalang yang menutupi hilalseperti mendungmaka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan menggenapkan (istikmâl) bilangan bulan Sya’ban dan atau Ramadhan menjadi 30 hari.

Dalam praktek selanjutnya, penerapan rukyah terdapat keragaman dikalangan fuqaha’ dalam hal berapa orang jumlah minimal dalam melihat hilal tersebut. Hanafiyah menetapkan jika awan dalam keadaan cerah, maka dengan rukyah kolektif (ru’yah jama’ah) dan tidak mengambil kesaksian orang per-orang menurut pendapat yang râjih, dengan alasan, dalam keadaan cuaca cerah tentu tidak ada penghalang bagi seseorang untuk tidak dapat melihat hilal sementara yang lain melihat. Namun jika hilal dalam keadaan tidak memungkinkan untuk dilihat, mencukupilah kesaksian satu orang dengan syarat ia beragama Islam, adil, berakal dan dewasa.

Sementara Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan minimal dengan kesaksian satu orang baik cuaca dalam keadaan cerah atau ada penghalang, dengan catatan, perukyah (al-râ’iy) beragama Islam, dewasa, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Selanjutnya pula kesaksian (rukyah) tersebut harus dipersaksikan dihadapan qâdhi (pemerintah).

Hal ini bedasarkan hadits dari Ibnu Umar RA.:

قال : تراءى الناس الهلال , فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته , فصام وأمر الناس بصيامه

Demikian juga dengan kesaksian seorang A’rabi bahwa dia melihat hilal, lantas Nabi Saw. bertanya; “apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi Saw. bertanya lagi “apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah” ia menjawab “ya”, lantas Nabi Saw. bersabda “ya Bilal, umumkanlah kepada manusia dan hendaklah mereka berpuasa”. HR. Ibnu Hibban, Daraquthni, Thabrani dan Hakim.

Selanjutnya wajib pula terhadap orang yang melihat hilal untuk berpuasa meskipun tidak dipersaksikan dihadapan qadhi (pemerintah), begitu pula terhadap orang yang percaya dan meyakininya (liman shaddaqahu) meskipun orang yang melihat hilal tersebut anak-anak (shabiy), wanita, hamba, orang fasik, bahkan orang kafir sekalipun.

Adapun Malikiyah menetapkan dengan tiga kriteria; 1.) Rukyah kolektif , 2.) Rukyah satu orang adil, 3.) Rukyah dua orang adil. Point (1) dan (2) dengan dalil terdahulu. Adapun rukyah dua orang adil berdasarkan hadis:

عن عبد الرحمن بن زيد بن الخطاب أنه خطب فى اليوم الذي شك فيه فقال :ألا إني جالست أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وسألتهم, وأنهم حدثوني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته وانسكوا لها , فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين يوما, فإن شهد شاهدان مسلمان فصوموا وأفطروا


Akan tetapi seiring dengan majunya peradaban manusia yang dibarengi dengan tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hadis-hadis di atas mulai direaktualisasikan dalam konteks kekinian. Ini dikarenakan dalam aktifitas rukyah banyak sekali kelemahan-kelemahan yang seharusnya tidak terjadi pada saat ini.

Berdasarkan penelitian intensif yang dilakukan oleh para pakar Hisab-Falak (Astronomi) terdapat beberapa kelemahan rukyah:

1. Jauhnya jarak hilal (bulan) dari permukaan bumi (mencapai sekitar 40.000 kilometer), sementara bulan hanya mengisi sudut sekitar 2 ½ derajat yang berarti hanya mengisi 1/80 sudut pandang mata manusia tanpa menggunakan alat. Ini berarti hilal hanya mengisi sekitar 1,25 % dari pandangan, oleh sebab itu pengaruh benda sekitar yang mengisi 98,75 % sangatlah besar.
2. Hilal hadir hanya sebentar saja (sekitar 15 menit s.d. 1 jam), padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang banyak terdapat di negara tropis dan basah karena banyaknya lautan seperti Indonesia. Karena lembabnya permukaan lautan maupun daratan didekatnya maka hasil penguapannya membentuk awan yang mengumpul di dekat permukaan disekitar ufuk. Justru pada ketinggian yang rendah disekitar ufuk inilah hilal diharapkan hadir dan dapat dilihat.
3. Keadaan lain yang menyulitkan pelaksanaan rukyah hilal adalah kondisi sore hari, terutama yang menyangkut pencahayaan, karena kemuncuan hilal sangat singkat maka rukyah harus dilaksanakan secepat mungkin setelah matahari terbenam. Pada saat itu meskipun matahari sudah di bawah ufuk, cahayanya masih terlihat benderang, selanjutnya akan muncul cahaya kuning keemasan (cerlang petang). Cahaya ini sangat kuat dan nyaris menenggelamkan cahaya hilal yang sangat redup.
4. Banyaknya penghalang di udara berupa awan, asap kenderaan, asap pabrik, dll.
5. Kesulitan lainnya, hilal pada umumnya terletak tidak jauh dari arah matahari, yaitu hanya beberapa derajat ke sebelah utara atau selatan tempat terbenamnya matahari.
6. Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental), sebab melihat adalah gabungan antara proses jasmani dan proses rohani (psikis), yang dominan adalah proses psikis. Sekalipun ada benda, citra benda di selaput jala dan isyarat listrik yang menyusuri urat saraf menuju otak, seseorang tidak akan melihat apapun jika otaknya tidak siap, misalnya karena melamun, maka dalam hal ini proses psikis tidak terjadi, sehingga proses melihat tidak terjadi pula. Sebaliknya, meskipun proses psikis tidak ada–misalnya bendanya tidak ada sehingga tidak ada citra benda, tidak ada isyarat optik maupun listriknamun jika proses mentalnya hadir, maka ia ‘merasa’ dan kemudian ‘mengaku’ melihat. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal dengan istilah halusinasi, yaitu berupa perasaan ingin sekali berjumpa atau sangat rindu pada benda yang akan dilihat, atau merasa yakin bahwa bendanya pasti ada. Jika terhadap benda yang besar seperti manusia, gunung, gedung, dll. bisa salah lihat, apalagi terhadap hilal yang jauh lebih kecil bahkan redup.


Dengan alasan-alasan diatas manusia mulai berpikir untuk mencari solusi dari kenyataan ini, hisab-falak agaknya menjadi pilihan. Namun lagi-lagi hal ini tidaklah mudah, sebab hal ini terkait juga dengan aspek syari’at (fikih). Karenanya perbincangan seputar ini semakin hangat dan menarik untuk diteliti dan didiskusikan.

2. Hisab

Hisab secara etimologi bermakna menghitung (‘adda), kalkulasi (ahsha), dan mengukur (qaddara). Dimaksud dalam hal ini adalah menghitung pergerakan posisi hilal di akhir bulan-bulan Qamariyah untuk menentukan awal-awal bulan−khususnya Ramadhan-Syawal−dengan menggunakan alat-alat perhitungan.

Jenis hisab dalam ilmu falak (ilmu astronomi) meliputi perhitungan astronomis khusus menyangkut posisi bulan dan matahari untuk mengetahui kapan dan di permukaan mana terjadi peristiwa astronomis itu terjadi. Hisab pada mulanya hanya di gunakan untuk penentuan awal bulan Qamariyah, namun seiring maju pesatnya ilmu pengetahuan, ilmu hisab terus berkembang, di antaranya yang masih ada kaitanya dengan ibadah, misalnya hisab waktu shalat dan imsakiyah, hisab arah kiblat, hisab gerhana bulan dan matahari, hisab konversi penanggalan hijriyah-masehi, hisab visibilitas hilal dari sebuah tempat, hisab bayang kiblat.

Imam Taqiyuddin al-Subki (w.756) dalam Fatâwa-nya menyatakan terdapat beberapa ulama besar (kibâr) yang mewajibkan atau setidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan untuk terlihat (imkân al-ru’yah). Menurutnya, pendapat ini yang disebutnya sebagai wajh, memandang imkân al-ru’yah sebagai sebab wajibnya puasa dan hari raya, berbeda dengan wajh ashah yang tetap mengaitkannya dengan nafs al-ru’yah atau ikmâl al-‘iddah. Selanjutnya beliau mengemukakan bila pada suatu kasus ada orang yang mengkhabarkan atau menyaksikan bahwa hilal telah tampak, padahal hisab dengan muqaddimât-nya yang qath’i menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat−misalnya karena posisinya yang terlalu dekat dengan matahari−maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar dan kesaksian bersifat zhan sedang hisab bersifat qath’i, telah diketahui bahwa sesuatu yang qath’i tidak dapat didahului atau dipertentangkan dengan sesuatu yang zhan.

Pernyataan al-Subki ini selanjutnya mendapat dukungan dari beberapa ulama yang datang kemudian seperti imam al-Syarwani, al-‘Abbadi dan al-Qalyubi (w.1069). Al-Qalyubi mengatakan: “yang benar, rukyah hanyalah sah pada waktu hilal memang mungkin terlihat”, yaitu meskipun ia tetap mendasarkan pada rukyah tetapi juga menempatkan hisab pada posisi cukup penting. Secara lebih tegas al-Syarwani dan al-‘Abbadi mengatakan ;”seyogyanya, jika menurut hisab qath’i hilal telah berada pada posisi memungkinkan terlihat setelah matahari terbenam, kiranya hal itu telah cukup dijadikan acuan meskipun dalam kenyataan (zhahir) hilal tidak tampak”.

Berdasarkan perhitungan-perhitungan yang dilakukan para ulama falak menunjukkan bahwa data yang dihasilkan dipandang lebih dari cukup dan akurat menurut syara’, diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa perhitungan hisab-falak sudah selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Sehingga tidak berlebihan, banyak ulama kontemporer mendukung bahkan mewajibkan penggunaan data hisab-falak dalam menentukan awal bulan Qamariyah terkhusus Ramadhan-Syawal.

Thanthawi Jawhari dalam tafsirnya al-Jawhar fiy Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm secara panjang lebar menyatakan kemestian menggunakan data hisab-falak dalam memulai puasa dan hari raya, hal ini dapat disimak dalam pandangan beliau ketika mengomentari surat Yunus ayat 5 serta ayat-ayat yang berkaitan dengan perhitungan gerak siang-malam.

Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manâr juga menyerukan (membolehkan) untuk menggunakan data hisab-falak dalam komentarnya terhadap ayat-ayat puasa dan perhitungan gerak bulan dan matahari.

Selanjutnya lagi Ahmad Muhammad Syakir , juga menyatakan demikian dalam salah satu karyanya “Awâ’il as-Syuhûr al-‘Arabiyyah, Hal Yajûzu Syar’an Itsbâtuhâ bi’l Hisâbât al-Falakiyyah”, bahkan ia mengatakan cukup banyak (aktsar) fuqaha’ dan muhadditsîn yang tidak mengetahui ilmu falak, bahkan kebanyakan mereka (katsîr minhum) tidak mempercayai para pakar ilmu itu, terlebih-lebih mereka menganggap itu adalah sesuatu yang bid’ah.

Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqh al-Shiyâm-nya menyebutkan pula secara tegas sekaligus menyeru untuk menerima fakta ini dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Ahmad Muhammad Syakir diatas.

V. Konsep Muhammadiyah dalam Menentukan Awal Bulan Qamariyah

Setiap tahun menjelang Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah masyarakat bertanya-tanya kenapa sering terjadi perbedaan antara ormas-ormas dan pemerintah dalam menentukan awal bulal-bulan tersebut. Pertanyaan tersebut muncul dikarenakan belum ada consensus (ijmâ’) mengenai dasar penetapan bulan-bulan Qamariyah (terutama tiga bulan di atas). Apakan sitem rukyah(melihat hilal), wujudul hilal (bila pada hari ijtima’ terjadi, saat terbenam mataharti, hilal muncul di atas ufuk), ataukah imkanur rukyah(hisab yang menyatakan standar kemungkinan hilal bisa dilihat pada saat tersebut). Maka dengan perbedaan dalam menggunakan sistem di atas sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pula pada hasilnya.

Dalam kalender Hijriyah dikenal istilah hisab ‘urfi dan hisab hakiki. Hisab ‘urfi didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem ini ditetapkan oleh Umar bin Khatab (17H) . Sistem kalender urfi seperti kalender Syamsiyah (Miladiyah), bilangan hari tiap-tiap bulan sama, kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Jadi, penanggalan seperti ini tidak bisa dipakai untuk menentukan awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah( Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah), karena jika berdasarkan sistem ini, maka jumlah hari pada bulan Sya’ban dan Ramadhan tetap, yaitu 29 untuk Sya’ban dan 30 untuk Ramadhan. Adapun Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Dalam konteks Indonesia, hisab hakiki dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi, yaitu hisab hakiki taqribi , hisab hakiki tahqiqi , dan hisab hakiki kontemporer .

Dalam penentuan awal bulan Qamariayah, Muhammadiyah selalu mengkorelasikan antara dimensi ideal-wahyu dan peradaban manusia. Ini sebagai mana tertuang dalam HPT(Himpunan Putusan Tarjih) Muhammadiyah bahwa berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menurut Djarnawi Hadikusuma , teks di atas hasil dari keputusan muyawarah Tarjih tanggal 1-7 Mei 1932 di Makassar. Ini berarti Muhammadiyah secara implisit mengakui rukyah dan hisab dalm arti memposisikan di tengah-tengah(menggunakan sistem rukyah dan hisab).

Dalam Himpunan Putusan Tarjih dijelaskan “apabila ahli hisab menetapakan bahwa bulan belum tampak atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataanya ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang mu’tabar? majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyahlah yang mu’tabar”.

Kecenderungan di atas kemudian dielaborasi kembali dalam Munas Tarjih ke-25 pada tanggal 5-7 Juli 2000 di Jakarta pada komisi III yang membahas penentuan awal bulan Qamariyah dan matlak. Dari musyawarah tersebut menghasilkan bahwa kedudukan hisab sama dengan rukyah. Lihat putusan Munas tarjih ke-25 di Jakarta.

Namun demikan, dalam realitas empirik, Muhmmadiyah tidak pernah memakai rukyah telanjang dalam penentuan awal bulan Qamariyah(terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Ini dikarenakan Muhammadiyah berpandangan bahwa “rukyah bengan mata telanjang itu sulit dan Muhammadiyah berpandangan bahwa agama itu tidaklah sempit, maka hisab bisa digunakan dalam penentuan awal bulan Qamariyah”, karena hisab juga merupakan interpretasi pemaknaan rukyah, yakni ru’yah bi’l ‘ilmi.

Djarnawi Hadikusuma menjelaskan:

“…kelihatan atau tidak, apabila hilal sudah wujud pasti saat itu sudah masuk tanggal satu bulan baru. Sah wujudnya suatu benda adalah tidak disyaratkan mungkin untuk dilihat oleh mata. Banyak hal-hal yang teryata ada atau wujud, namun tidak dilihat oleh mata atau dirasa oleh indera manusia. Dan ini sejalan dengan ilmu tauhid. Apalagi hilal adalah benda yang kongrit, bukan abstrak. Tidak kelihatanya hilal yang sudah wujud, tidaklah menganulir wujudnya hilal itu.”

Dari kutipan di atas, dapat menggambarkan bahwa hisab wujudul hilal Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin bisa dilihat atau tidak, tetapi menjadi dasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah dan sekaligus dijadikan bukti bulan baru Qamariayah sudah masuk atau belum.

Hal ini senada apa yang diungkapakan Basit Wahid sebagaimana dikutip T. Djamaluddin, bahwa wujudul hilal telah digunakan sejak 1969, karena di Indonesia belum ada kriteria yang sahih secara ilmiah bagi imkanur rukyah. Bahkan sampai saat ini kriteria imkanur rukyah masih beragam.

Paling tidak ada dua alasan mengapa Muhammadiyah menggunakan konsep wujudul hilal dalam menentukan awal bulan Qamariyah. Pertama, sistem wujudul hilal merupakan sikap tengah dari dua konsep penentuan awal bulan Qamariyah, yaitu antara sistem ijtima’ qablal ghurub(sudah menganggap bulan baru ketika terjadi ijtimak sebelum terbenam matahari meski hilal belum wujud pada saat matahari terbenam) dan sistem imkanur rukyah(menganggap bulan baru jika kemungkinan hilal bisa dilihat). Wujudul hilal adalah tengah-tengah dari dua sistem tersebut, dengan kriteria ijtimak sudah terjadi dan hilal harus sudah wujud (ketika matahari tenggelam), meski tidak bisa terlihat–karena keterbatasan mata manusia. Kedua, wujudul hilal menempati posisi tengah-tengah antara sistem hisab murni (tidak mempedulikan terjadinya hilal) dan sistem rukyah murni (sangat mempeduliakn terlihatnya hilal). Wujudul hilal berada di tengah-tengah dua sistem di atas yang mempedulikan hilal meski tidak terlihat.


VI. Hisab Hakiki dan Wujudul Hilal Model Muhammad Wardan

Secara umum, munculnya teori hisab hakiki didorong atas keprihatinan terhadap model dan pola penentuan awal bulan Qamariyah konvensional-tardisional yang biasa berlaku saat ini. Wardan mengungkapkan:

“Orang baru berpuasa Ramadlan kalau sudah terdengar bunyi tidur (duger) di masdjid-masdjid atau di surau-surau d.l.l., yaitu pemukulan tidur (bedug pen.) atau tabuh berturut-turut pada petang hari sesudah sholat ‘Ashar mendjelang 1 Ramadlan, atau belum mau berhari raja kalau belum terdengar suara tidur jang dipukul pada petang hari sesudah sholat ‘Ashar mendjelang 1 Sjawal, dan pemukulan tidur tersebut dilakukan menurut ketentuan adat, adat jang menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab ‘urfi, sehingga bila mana diikuti penentuan tanggal 1 Ramadlan dan Sjawal berdasarkan kalau bedug dibunyikan dan ditabuh berturut-turut, maka selamanya umur bulan Ramadlan itu pasti, dan tetap 30 hari dan tidak pernah 29 hari. Padahal umur bulan Ramadlan baik berdasarkan rukyat hilal atau hisab hakiki, dan pula sesuai dengan hadits Nabi S.a.w. bahwa umur bulan Ramadlan, kadang-kadang 30 hari dan kadang-kadang 29 hari.”

Atas dasar itu, Muhammad Wardan berijtihad menawarkan model baru dalam menetapkan awal bulan Qamariyah, yang dia istilahkan hisab hakiki dengan sistem wujudul hilal. Dan konsep wijudul hilal inilah yang masih dipertahankan hingga kini. Dalam bukunya “Hisab Urfi dan Hakiki” dijelaskan , ada tiga cara menetapkan tanggal satu bulan baru, yaitu bila saat terbenam matahari (sunset) pada akhir bulan, hilal telah tampak, artinya benar-benar terlihat (rukyah) atau kemungkinan dapat dilihat meskipun tidak terlihat (imkanur rukyah), atau hilal sudah wujud (meskipun tidak bisa terlihat mata). Menurut Susiknan Azharisalah satu dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta−langkah ini (baca: wujudul hilal) ditempuh sebagai jalan tengah antara ijtima’ qablal ghurub dan sistem imkanur rukyah atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyah murni.
Meski buku ini dicetak tahun 1957, tanpa mengurangi nilai pentingnya karya ini dan konstribusi pemikiran Muhammad Wardan, diharapkan para pemerhati ilmu hisab menindaklanjuti pemikiranya melalui riset yang berkesinambungan. Karena salah satu kelemahan sistem hisab hakiki adalah penggunaan data. Misalnya, data yang disediakan dalam buku “Hisab ‘Urfi dan Hakiki” bersifat tetap. Padahal seharusnya data tersebut berubah-ubah karena pergerakan matahari, bulan dan bumi itu sendiri, meski perubahan tersebut tidak seberapa besar.

VII. Wujudul Hilal dan Matlak

Praktek matlak yang dimaksud adalah keputusan yang pernah dikeluarkan oleh pimpinan Pusat Muhammaiyah pada tahun 1962. Dalam surat yang diedarkan bahwa untuk daerah sebelah barat makassar, Idul Fitri 1381/1962 jatuh pada hari Rabu Pahing 7Maret 1967(pada petangketika matahari terbenamRabu itu hilal sudah wujud). Sedangkan wilayah timur Makassar, pada hari Kamis Pon 8 Maret 1962 (karena pada petang Rabu tanggal 6 Maret 1962 hilal belum wujud).

Hal serupa pernah terjadi di tubuh NU, pemikiran matlak tersebar dalam dokumen resmi NU(berita Mabarat, berita Nahdhatul Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah alm Muktamar NU, dan AULA) sejak 1926-2003. Secara jelas dalam Munas Alim Ulama Situbondo disebutkan dalam ahkâmu’l Fuqaha no. 342: “Penetapan Pemerintah tentang awal Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut jumhurus salaf bahwa thubut awal Ramadlan dan awan Syawal itu hanya birru’yah au itmamil adadi tsalatsina yauman”

Setelah itu pada Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap pada 23-26 Rabi’ul Awal 1408 H/15-18 November 1987 M, persoalan matlak mulai diperbincnagkan. Secara jelas disebutkan dalam ahkamu’l Fuqaha no. 369 poin 5 b: “NU telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak membedakan Matlak dalam penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha, yakni ru’yatul hilal di salah satu tempat Indonesia yang diterima oleh Pemerintah sebagai dasar penetapan awal Ramadlan, Idul Firti dan Idul Adha berlaku di seluruh Indonesia walaupun berbeda matla’nya”.

Dapat difahami antara Muhammadiyah dan NU sama-sama memutuskan bahwa matlak bersifat lokal bukan internasional. Ini senada apa yang ungkapkan oleh Hamka, menurutnya kalau kita berada di tanah suci Mekah, kita harus mengikuti ketetapan pemerintah Arab Saudi. Akan tetapi kalau kita berada di Indonesia, maka kita harus mengikuti pemerintah Indonesia. Ini mempunyai arti, Muhammadiyah dan NU belum melakukan kajian tentang matlak dengan kerangka teori mayoritas fungsinal dan minoritas fungsional. Ini dapat difahami NU mengembangkan nalar literature-inderawi, yang menjadikan rukyah sebagai penentu awal bulan Qamariyah. Sedangkan Muhammadiyah mengusung rasional-ilmiah melalui konsep wujudul hilal.

VIII. Penutup

Penetapan awal Ramadhan-Syawal adalah persoalan ijtihad, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat. Pernyataan Nabi S.a.w. “faqdurû lah” dan “fa in ghumma ‘alaikum fa akmilû al-‘iddah tsalâtsîn”, hadis pertama tertuju pada orang-orang yang mengerti ilmu hisab-falak, hadis kedua tertuju pada orang awam (sesuai dengan pernyataan Ahmad Muhammad Syakir yang mengutip pendapat Ibnu Suraij) ditambah argumen-argumen lainnya. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam rukyah terdapat banyak kelemahan dipandang dari sudut IPTEK, sehingga metode ini perlu dielaborasi dan disederhanakan dengan fasilitas teknologi modern (hisab-falak). Penelitian dan perhitungan yang dilakukan para pakar hisab-falak menunjukkan bahwa data yang dihasilkan sudah selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan perbedaan yang berarti. Sehingga tak berlebihan banyak ulama kontemporer mendukung bahkan mewajibkan penggunaan data hisab-falak dalam menentukan awal bulan Qamariyah terkhusus Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.

Hisab pada dasarnya adalah bangunan keilmuan, maka sangat dipengaruhi oleh wacana epistema masing-masing. Maka wujudul hilal yang diusung Muhammadiyah dan imkanur rukyah oleh Pemerintah memiliki ciri sendiri-sendiri. Maka, batas equilibrium (baca: keseimbangan) hisab dan imkanur rukyah terletak pada sampai mana keduanya saling berkomunikasi, bukan malah mengambil jarak. Dengan demikian masing-masing tidak terjebak pada intellectual arrogance. Untuk itu sangat perlu dikembangkan hubungan asosiatif literal-inderawi dengan nalar rasional-ilmiah untuk membangun kalender Hijriyah ke depan. Wa’lLâhu a’lam.

Rahmadi Wibowo Suwarno
Kairo, 8 September 2007

1 komentar:

  1. Terima kasih atas sharing ilmunya...jika punya kitab Sibâhah Fadhâiyah fîy Afâqi ‘ilmi’l falak dalam versi PDF saya minta dikirimi ke alamat ini: khozinfalak@gmail.com

    BalasHapus