Data FAO menyebutkan bahwa angka kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia pada tahun 2000 – 2005 mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 2,8 juta hektar per tahun.
Dengan angka deforestasi ini, Indonesia berada di bawah Brazil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3,1 juta hektar per tahun, dengan gelar sebagai kawasan deforestasi terbesar di dunia.
Namun karena luas total kawasan hutan Indonesia jauh lebih kecil daripada Brazil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Yaitu mencapai 2 persen per tahun, sedangkan Brazil hanya 0,6 persen per tahun.
Demikian ungkap Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional Greenpeace Asia Tenggara dalam orasinya pada acara ”Selamatkan Hutan Indonesia”, di Tugu Proklamasi, Jum’at (16/3).
"Dengan tingkat penghancuran hutan yang luar biasa ini, Indonesia layak untuk masuk ke dalam the Guinness Book of World Record, bergabung dengan Brazil yang saat ini memegang rekor sebagai kawasan deforestasi terluas di dunia," katanya.
Menurutnya secara keseluruhan Indonesia telah kehilangan lebih dari 72 persen hutan-hutan alaminya dan 40 persen dari angka tersebut telah hilang sama sekali. Indonesia telah menghancurkan sekitar 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam. "Sebuah angka yang menurut Greenpeace layak menempatkan Indonesia ke dalam rekor dunia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia," ungkap Hapsoro.
Penyebab terjadinya kerusakan hutan yang maha dahsyat ini adalah kegiatan penebangan hutan skala besar oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan areal hutan tanaman industri (HTI) untuk industri kertas dan perkebunan besar kelapa sawit, kebakaran hutan karena pembukaan lahan serta praktik-praktik illegal logging oleh para mafia kayu yang telah merugikan negara sebesar 41 triliun rupiah setiap tahunnya.
Bencana
Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan rusaknya hutan kita. Sementara kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Hapsoro menambahkan bahwa meningkatnya gas rumah kaca di atmosfir ini telah menyebabkan perubahan iklim. Akhir-akhir ini beberapa lembaga penelitian dan Wetland International telah melakukan riset mengenai emisi CO2 yang dihasilkan dari konversi lahan gambut dan kebakaran hutan di Indonesia.
"Hasil riset itu ternyata menunjukkan bahwa Indonesia telah menghasilkan emisi CO2 dari konversi lahan gambut dan kebakaran hutan sebesar 516 metrik ton per tahun," terang Hapsoro.
Moratorium
Melihat hal tersebut, Hapsoro mengatakan bahwa yang sangat diperlukan saat ini adalah moratorium bagi industri dan kegiatan penebangan (logging) di seluruh Indonesia untuk melindungi apa yang masih tersisa dari hutan ini. Tekanan publik diperlukan untuk mendesak pemerintah guna menyadari betapa seriusnya masalah ini.
Rekor betapa cepatnya laju deforestasi ini bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan oleh bangsa Indonesia, namun hal ini masih dapat diperbaiki. Indonesia masih dapat membanggakan banyak hal dari negaranya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 18.000 pulau.
Indonesia juga mempunyai keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia dan merupakan daerah resapan karbon penting bagi dunia. Sekarang waktu yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia agar bertindak untuk menuntut pemerintah menghentikan kerusakan hutan Indonesia.
"Dibutuhkan kemauan dan kemampuan politik dari pemerintah Indonesia untuk menghentikan kehancuran hutan yang sangat parah ini. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah ke depan, bencana alam akan terus terjadi akibat deforestasi hutan kita," tandas Hapsoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar