Paradigma sumber daya alam sekedar sumber ekonomi sebabkan kerusakan lingkungan dan bencana
Laju penyusutan hutan yang kian cepat belakangan ini, serta kerusakan lingkungan yang diakibatkannya, menunjukkan kebijakan pemerintah dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sekarang ini tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
Pemerintah masih menggunakan paradigma lama, bahwa sumber daya alam termasuk hutan, tidak lebih dari sekedar sumber ekonomi. Padahal, paradigma ini justru sudah terbukti telah menyulut berbagai bencana yang mengancam kelangsungan hidup bangsa.
Pandangan tersebut disampaikan Sarwono Kusumaatmadja, mantan Menteri Lingkungan Hidup (Sabtu, 12/05), dalam acara peluncuran buku “Kemelut Politik di Balik Asap, Refleksi atas Bencana Nasional Kebakaran Hutan 1997/1998” di Toko Buku Aksara, Jakarta.
Buku tersebut merupakan laporan jurnalistik atas peristiwa bencana nasional kebakaran hutan 1997/1998 yang ditulis Sarwono Kusumaatmadja dan Dwi Iswandono dan diterbitkan oleh KOJI (Koperasi Aliansi Jurnalis Independen).
Dalam kesempatan itu Sarwono menekankan bahwa paradigma lama tersebut harus secepatnya diubah. Perubahan ini erat kaitannya dengan kewajiban dasar pemerintah sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa.
"Pemerintah harus punya sense of urgency atas masalah hutan dan lahan serta kerusakan lingkungan pada umumnya," kata Sarwono Kusumaatmadja.
Sarwono, yang kini menjabat anggota DPD RI mewakili Provinsi DKI Jakarta periode 2004-2009 ini mengatakan, kerusakan lingkungan mempunyai korelasi langsung dengan penurunan kualitas hidup manusia Indonesia.
Seperti kebakaran hutan 1997/1998 yang menyebabkan kerusakan ratusan ribu hutan dan lahan, serta menimbulkan problem asap di sejumlah negara tetangga, selain disebabkan oleh faktor alam, juga disebabkan ulah manusia.
Pada level pengambil keputusan nasional terjadi tarik-menarik kepentingan yang sifatnya sangat sektoral. Selain itu, kepentingan sesaat kroni penguasa dan para petinggi negara menyebabkan penanganan kasus kebakaran hutan yang menimbulkan kerugian triliunan rupiah tersebut menjadi amburadul.
Apalagi menurut Sarwono, di ujung akhir masa bencana kebakaran hutan 1997/1998, Indonesia diterpa badai krisis ekonomi. "Akibatnya, perhatian pemerintah atas masalah kebakaran hutan menjadi kecil," katanya.
Ketika itu menurutnya, dia terpaksa meminta bantuan kalangan LSM untuk turut menangani kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera.
Berkaca dari kasus kebakaran hutan semasa ia menjadi Menneg LH, serta kasus serupa di tahun-tahun berikutnya hingga kini, serta kasus bencana alam lainnya, Sarwono mengimbau bahwa penanganan bencana alam harus menjadi kompetensi dasar pemerintah. Bencana alam tidak bisa semata-mata diyakini sebagai “cobaan dari Tuhan”, dan sudah seharusnya menjadi agenda kerja tetap pemerintah.
"Artinya, pemerintah harus selalu siap mengantisipasi dan menangani setiap bencana dengan cepat dan tepat. Tidak boleh lagi setiap kali muncul bencana, muncul pula masalah koordinasi antar instansi yang jelek misalnya, atau pemerintah terkesan kebingungan," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar