Senin, 05 April 2010

Air di Bumi

Fakta Air di Bumi. Sayangi penggunaannya.

Masalah air terus menerus menjadi problematika yang sulit dipecahkan. Penghematan air pun sulit dilakukan karena merasa bahwa air adalah sesuatu yang terus menerus ada dan tidak akan habis. Faktanya adalah jumlah total air yang ada di Bumi saat ini relatif sama dengan saat Bumi ini tercipta. Yang berubah ada bentuk dari air tersebut dalam siklus air yang berlangsung terus menerus. Jadi air yang dipakai mandi oleh Pangeran Diponegoro bisa jadi sama dengan air yang sedang anda pakai untuk minum.

siklusair2

Tetapi dari semua air tersebut, hanya 3% saja yang merupakan air tawar dimana 97% lagi adalah air asin. dari 3% ini juga terbagi-bagi lagi dengan es, air tanah dan air permukaan seperti gambar di bawah ini.

earthwaterdist2
Estimasi Distribusi Air Sumber Air Volume Air dalam Mil Kubik Volume Air dalam Kilometer Kubik Persentase dari Total Air
Samudra, laut dan teluk 321,000,000 1,338,000,000 96.5%
Total Air Dunia 332,500,000 1,386,000,000 –
Disadur dari: Gleick, P. H., 1996: Water resources. In Encyclopedia of Climate and Weather, ed. by S. H. Schneider, Oxford University Press, New York, vol. 2, pp.817-823. USGS.

Masalahnya adalah dengan jumlah air yang konstan ini, kita harus benar-benar menyayangi penggunaannya dan tidak membuang percuma. Kita membuang air percuma untuk banyak sekali seperti cuci tangan, mencukur, minum yang tidak dihabiskan, mandi, dll. Air ini harus terus ada untuk anak dan cucu kita agar mereka dapat memiliki kehidupan yang sama seperti kita sekarang.
Diposkan oleh Alex di 20:55
Label: Air, Sumber Daya Alam
Danau

Danau adalah sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu tempat yang cukup luas, yang dapat terjadi karena mencairnya gletser, aliran sungai, atau karena adanya mata air. Biasanya danau dapat dipakai sebagai sarana rekreasi, dan olahraga.

Danau adalah cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air bisa tawar ataupun asin yang seluruh cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan.

Kebanyakan danau adalah air tawar dan juga banyak berada di belahan bumi utara pada ketinggian yang lebih atas.

Sebuah danau periglasial adalah danau yang di salah satunya terbentuk lapisan es, "ice cap" atau gletser, es ini menutupi aliran air keluar danau.

Istilah danau juga digunakan untuk menggambarkan fenomena seperti Danau Eyre, di mana danau ini kering di banyak waktu dan hanya terisi pada saat musim hujan. Banyak danau adalah buatan dan sengaja dibangun untuk penyediaan tenaga listrik-hidro, rekreasi (berenang, selancar angin, dll), persediaan air, dll.

Finlandia dikenal sebagai "Tanah Seribu Danau" dan Minnesota dikenal sebagai "Tanah Sepuluh Ribu Danau". Great Lakes di Amerika Utara juga memiliki asal dari zaman es. Sekitar 60% danau dunia terletak di Kanada; ini dikarenakan sistem pengaliran kacau yang mendominasi negara ini.

Di bulan ada wilayah gelap berbasal, mirip mare bulan tetapi lebih kecil, yang disebut lacus (dari bahasa Latin yang berarti "danau"). Mereka diperkirakan oleh para astronom sebagai danau.

Berdasarkan proses terjadinya, danau dibedakan :

1. danau tektonik yaitu danau yang terbentuk akibat penurunan muka bumi karena pergeseran / patahan
2. danau vulkanik yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme / gunung berapi
3. danau tektovulkanik yaitu danau yang terbentuk akibat percampuran aktivitas tektonisme dan vulkanisme
4. danau bendungan alami yaitu danau yang terbentuk akibat lembah sungai terbendung oleh aliran lava saat erupsi terjadi
5. danau karst yaitu danau yang terbentuk akibat pelarutan tanah kapur
6. danau glasial yaitu danau yang terbentuk akibat mencairnya es / keringnya daerah es yang kemudian terisi air
7. danau buatan yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas manusia

[sunting] Danau terkenal
Danau Toba di Sumatra, Indonesia.

* Danau terbesar di dunia adalah Laut Kaspia. Dengan luas permukaan 394.299 km², ia memiliki wilayah yang lebih besar dari enam danau terbesar berikut digabungkan menjadi satu.
* Danau air tawar terbesar, dan kedua terbesar adalah Danau Superior dengan luas permukaan 82.414 km².
* Danau terdalam adalah Danau Baikal di Siberia, dengan kedalaman 1.741 meter (5.712 kaki).
* Danau tertinggi yang dapat dinavigasi adalah Danau Titicaca, pada ketinggian 3.821 m di atas permukaan laut. Dia juga merupakan danau terbesar kedua di Amerika Selatan.
* Danau terendah di dunia adalah Laut Mati, pada 396 m (1.302 kaki) di bawah permukaan laut. Dia juga merupakan danau yang memiliki konsentrasi garam paling tinggi.
* Pulau terbesar di tengah danau air tawar adalah Pulau Manitoulin di Danau Huron, dengan luas permukaan 2.766 km².
* Danau terbesar yang terletak di pulau adalah Danau Nettiling di Pulau Baffin.
* Danau Toba di pulau Sumatra kemungkinan terletak di kawah gunung berapi pasif terbesar di dunia.

Diposkan oleh Alex di 19:51
Label: Air, Sumber Daya Alam
Kamis, 01 Oktober 2009
Komersialisasi Air Abaikan Rakyat Miskin RUU Sumber Daya Air Harus Ditinjau Ulang

Jakarta, Kompas - Secara keseluruhan, Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air dinilai hanya memandang air sebagai komoditas untuk komersialisasi dengan membuka peluang privatisasi di sektor air. Akibatnya, hanya kalangan mampu yang akan terjamin aksesnya terhadap air bersih. Kebijakan itu dikhawatirkan kelak dapat melecut konflik antargolongan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, RUU SDA yang kebablasan harus ditinjau ulang dengan mengakomodasi masukan dari berbagai kalangan masyarakat.

Demikian penilaian berbagai kalangan masyarakat mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA)-yang kini sedang dibahas Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah-yang dihubungi Kompas hari Sabtu (13/9) dan Minggu.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo mengatakan, secara keseluruhan, RUU SDA memandang air sebagai komoditas untuk komersialisasi. Padahal, untuk negara berkembang seperti Indonesia, fungsi ekonomi sosial air jauh lebih besar ketimbang fungsi ekonomi untuk komersialisasi.

"Rumusan RUU Sumber Daya Air saat ini sangat diwarnai nuansa komersialisasi air. Saya menyadari, air memiliki fungsi ekonomi yang sangat penting. Namun, itu fungsi ekonomi sosialnya, bukan ekonomi komersial seperti di negara-negara maju," katanya.

Wijanto Hadipuro, pengajar Fakultas Ekonomi dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, mengatakan hal serupa. RUU SDA, katanya, lebih dipandang dengan pendekatan pasar sehingga memberi peluang kepada swasta untuk berperan seluas-luasnya dalam pengelolaan air (Pasal 11 Ayat 3).

Wijanto memastikan, dengan dibukanya peluang besar pada swasta untuk terlibat, akan diterapkan prinsip opportunity cost (biaya karena kesempatan yang hilang). Prinsip tersebut diterapkan ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan air dengan gratis atau murah, sementara pada saat bersamaan ada orang atau kelompok lain yang bersedia membayar lebih untuk menggunakan air, maka kelompok yang pertama akan dikalahkan kepentingannya.

"Hal itu sudah terjadi di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Air untuk jaringan irigasi bagi petani dibatasi sekali jumlahnya karena untuk memenuhi kebutuhan suatu industri. RUU SDA harus ditinjau ulang, kalau perlu dengan debat publik," kata Wijanto lagi.

Terjebak Bank Dunia

Wijanto dan Nila Ardhianie (dari Koalisi Air) meyakini, modus privatisasi sektor air dalam RUU SDA tidak terlepas dari peran Bank Dunia yang membuat pemerintah seperti terjebak. Krisis moneter tahun 1997 mendorong pemerintah memperoleh pinjaman bersifat cepat dikeluarkan. Bank Dunia menawarkan Structural Adjustment Loan (SAL) dengan syarat perubahan struktural dalam sektor air melalui agenda Water Resources Sector Adjustment Loan (Watsal).

Akhirnya pada 28 Mei 1999 ditandatangani perjanjian pinjaman 300 juta dollar AS yang dicairkan dalam tiga tahap. Rencananya, Desember 2003, pencairan tahap ketiga sebesar 150 juta dollar AS akan dilakukan dengan syarat RUU SDA tersebut telah disahkan.

Sinyalemen agenda pencairan itu telah tampak dalam Rapat Kerja Menteri Keuangan Boediono dengan Panitia Anggaran DPR 26 Agustus 2003. Ketika itu Boediono mengatakan, ada bantuan program untuk menutupi pembengkakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang belum bisa cair. Hal itu karena pemerintah belum dapat memenuhi syarat tertentu, seperti RUU SDA yang belum juga disahkan (Kompas, 27 Agustus 2003).

Saat ini sejumlah perusahaan besar dunia di sektor air telah beroperasi di Indonesia. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang; Ondo-Suez di Jakarta, Medan, Semarang , dan Tangerang; Thames Water di Jakarta dan Sidoarjo; dan Vivendi yang juga beroperasi di Sidoarjo.

Wijanto menjelaskan, tahun 1993 Bank Dunia mengeluarkan policy paper (kebijakan) di sektor manajemen sumber daya air yang memakai pendekatan pasar. Dalam kebijakan tersebut Bank Dunia menghindari kata privatisasi yang juga dianggap sensitif. Sebagai gantinya, digunakan istilah public private partnership (kemitraan swasta) dalam manajemen sumber daya air.

"Itulah jargon Bank Dunia. Karena itu, tidak heran dia dan juga IMF (Dana Moneter Internasional) kerap dituding sebagai agen privatisasi yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan multinasional dunia," kata Wijanto.

Dia menambahkan, seharusnya pemerintah berhati-hati membuat kebijakan di sektor air. "Ketahanan pangan kita sangat bergantung pada ketahanan di sektor air. Jangan sampai untuk air saja kita tergantung pada korporasi asing," kata Wijanto.

Siswono juga mengingatkan, kebijakan pemerintah di sektor air akan sangat mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Pengaturan mengenai irigasi harus diatur dalam bab khusus dan menjamin secara tegas dan jelas tentang pasokan air bagi petani. Dia juga mengkritisi adanya hak guna pakai air dan hak guna usaha air (Pasal 8 Ayat 1 dan Pasal 9 Ayat 1).

Hak guna pakai air adalah hak memanfaatkan air untuk keperluan pokok sehari-hari dan tidak memerlukan izin tertentu, sedangkan hak guna usaha air adalah hak mengusahakan sumber daya air untuk keperluan usaha dan harus mendapat izin dari pemerintah pusat atau daerah.

Petani rakyat dalam jaringan irigasi dikategorikan dalam pemilik hak pakai tanpa izin. Namun, petani di luar jaringan irigasi harus mendapat izin untuk mendapat hak pakai.

Contoh lainnya yang dapat merugikan masyarakat dan melecut konflik adalah badan usaha dan perorangan boleh mengusahakan sebagian dari wilayah sungai dengan izin dari pemerintah pusat atau daerah.

"Dengan demikian, akses masyarakat yang tergantung pada sungai akan menjadi sulit. Terlebih jika hak pengusahaan wilayah sungai tersebut ada di bagian hulu. Bagaimana jika masyarakat di daerah hilir sungai menjadi kurang memperoleh air," kata Wijanto.

Hal lain yang juga dikritisi Wijanto adalah perorangan dan badan usaha boleh memodifikasi cuaca atau memanfaatkan awan untuk keperluan pihak tersebut, setelah mendapat izin dari pemerintah (Pasal 38 Ayat 2). "Ini berlebihan sekali. Bagaimana jika suatu kelompok masyarakat petani tembakau, misalnya, yang justru dapat merugi dengan adanya hujan," kata Wijanto lagi.

Pemerintah tidak mampu

Secara terpisah, Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Roestam Sjarief mengatakan, kondisi riil saat ini pemerintah tidak akan sanggup mengelola sektor air secara efisien. Oleh karena itu, tidak ada salahnya swasta dilibatkan untuk mengelola air demi terjaminnya perolehan air untuk masyarakat luas.

Menurut dia, pada awalnya air memang merupakan barang publik. Namun, seiring dengan semakin langkanya air, air bergeser menjadi barang ekonomi. "Sehingga pengaturan terhadap air harus dengan kaidah-kaidah ekonomi supaya air itu dimanfaatkan secara efesien," kata Roestam seusai rapat Panja di Hotel Imperial Aryadutha di Lippo Karawaci, Tangerang, Sabtu.

Dalam konteks di Indonesia, menurut Roestam, air berada pada posisi antara barang publik dan barang ekonomi, yaitu sebagai barang sosial. "Tetapi sebagai barang sosial yang pengelolaannya seharusnya ditanggung pemerintah, sanggup atau tidak pemerintah? Untuk kebutuhan dasar air minum saja tidak sanggup," ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Roestam, pemerintah harus kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan, salah satunya dengan melibatkan swasta. Pihak swasta nantinya dapat memfokuskan pelayanannya pada kalangan mampu. Sementara, dengan dana yang terbatas, pemerintah dapat melayani kalangan yang kurang mampu.

Ditanya, sejauh mana pelibatan swasta tidak akan menomorduakan rakyat miskin dalam memperoleh air dengan murah, Roestam menjawab, "Pemerintah sebagai pemberi izin yang akan mengawasi."

Roestam menambahkan, nantinya juga akan dibentuk Dewan Air Nasional yang terdiri dari unsur pemerintah dan nonpemerintah secara berimbang untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air.

Namun, Nila mengkritisi komposisi Dewan Air tersebut yang menyebut unsur nonpemerintah jumlahnya berimbang. "Bagaimana bisa dikatakan berimbang kalau unsur nonpemerintah termasuk kalangan pengusaha. Kalangan masyarakat umum atau adat tidak jelas komposisinya," kata Nila seraya menambahkan, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sangat dibatasi, dengan ketentuan harus dikukuhkan peraturan daerah setempat (Pasal 6 Ayat 3).

Pelayanan terbatas

Nila menilai RUU SDA enggan menjamin dengan tegas seluruh lapisan masyarakat dapat menjangkau air bersih. Hal itu tercermin dalam Pasal 77 Ayat 2. Di situ disebutkan, bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada badan usaha milik negara (BUMN)/badan usaha milik daerah (BUMD) pengelola air untuk pelayanan yang ditujukan bagi kesejahteraan dan keselamatan umum hanyalah dalam batas tertentu.

"Negara dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap terjaminnya masyarakat luas memperoleh air. Bukan swasta yang pasti lebih bertanggung jawab kepada pemodal. Tidak ada satu negara pun, khususnya negara berkembang, yang terbukti berpihak pada rakyat luas setelah sektor airnya diprivatisasi," kata Nila.

Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa pada November 2002 mengesahkan air sebagai hak asasi manusia dalam International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Disebutkan, air adalah sumber daya alam yang terbatas dan merupakan barang publik yang sangat fundamental bagi kehidupan dan kesehatan. Hak atas air adalah mutlak bagi manusia agar manusia dapat hidup secara bermartabat.

Lebih jauh Wijanto mengkhawatirkan maraknya sejumlah pemerintah kabupaten yang mendirikan pabrik air minum kemasan. "Mereka jadi cenderung mengalirkan air untuk pabrik ketimbang ke saluran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sebab, harga jualnya lebih tinggi," kata Wijanto.

Dia menambahkan, dibukanya peran swasta seluas-luasnya mendorong privatisasi PDAM secara sistematis di kemudian hari. RUU SDA sendiri menyebut jelas soal kemitraan dengan badan usaha (swasta), yaitu dalam pola bangun, operasikan, dan transfer (build, operate, and transfer), perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya.
Rapat Panja yang sedianya dituntaskan Sabtu pekan lalu ditunda hingga Kamis (18/9). Alasannya, masih ada pasal-pasal yang perlu dibahas, khususnya adanya usulan baru yang belum disetujui, yaitu pembentukan badan regulasi air minum dan sanitasi.
Diposkan oleh Alex di 22:47
Label: Air, Sumber Daya Alam
Sistem Pembagi Air Secara Grafitasi dan Kapiler
Di sekitar lahan kering berlereng sering ditemukan sumber air tersembunyi yang dapat dimanfaatkan bagi rumah tangga atau pertanian. Sebagai contoh sumber air daerah aliran sungai wilayah Gunungkidul, tepatnya di kecamatan Semin, air tanah telah dimanfaatkan untuk 27 kepala keluarga (KK) dan mengairi tanah pertanian kurang lebih 1 ha. Contoh lain pemanfaatan air tanah dengan sistem gravitasi telah dilakukan di kecamatan Tempel dan Turi kabupaten Sleman untuk usaha irigasi salak pondoh, perikanan dan rumah tangga, sebagian besar dengan memanfaatkan air tanah dari lereng Merapi.
Pemanfaatan sumber air dengan sistem ini tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, karena biayanya cukup mahal. Secara kelompok pemanfaatan sumber air ini jauh lebih murah dan daya gunanya tinggi, karena biaya dipikul bersama. Selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membagi air secara merata kepada anggota kelompok, sehingga setiap anggota mendapatkan air dalam jumlah yang sama meskipun tanpa petugas pengatur air. Ingin mencoba?Ikuti langkah-langkah berikut ini

1. Mencari Sumber Air.

* Pencarian sumber air dapat dimulai dengan bertanya kepada tokoh atau pemuka masyarakat setempat.
* Jika sumber air telah ditemukan, lakukan penghitungan debit aliran air, sebaiknya dikerjakan pada saat awal, pertengahan maupun akhir musim kemarau, sehingga datanya komplit.
* Menghitung debit aliran, siapkan ember volume 10 liter dan stopwatch (biasanya terdapat pada handphone). Tampung aliran air dalam ember sampai penuh terisi dan catat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ember bervolume 10 liter tersebut. Debit air dapat dihitung dengan rumus:

Misal, ember bervolume 10 liter terisi penuh dalam 25 detik, maka debit aliran air = 10 liter : 25 detik = 0,4 liter/ detik atau 400 cc/detik, sehingga dapat dihitung debit aliran air dalam 1 hari (24 jam), yaitu 24 (Jam) X 60 (menit) X 60 (detik) X 0,4 liter = 34.560 liter/hari.

* Jumlah air yang tersedia 34.560 liter/hari dapat digunakan oleh berapa orang atau berapa KK ? Jika kebutuhan air minimal per kapita per hari adalah 70 - 100 liter, maka setidaknya air yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk 345 orang. Jika setiap KK terdiri dari 5 anggota keluarga , maka air tersebut dapat dimanfaatkan oleh 345 orang : 5 orang = 69 KK.


2. Peralatan dan Bahan yang dibutuhkan
Alat : Ember, alat pertukangan, meteran, waterpas
Bahan : Selang, bis beton berukuran garis tengah 40 cm dan 80 cm, pipa pralon berukuran garis tengah 0,5 inchi dan 1 inchi, batu, pasir dan semen

3. Cara Pembuatan Jaringan Sistem Pembagi Air dan cara kerjanya

* Pilihlah lokasi untuk membangun bak distributor sesuai kesepakatan warga setempat.
* Lokasi bak distributor hendaknya lebih rendah dari posisi sumber air, sehingga air dapat dialihkan ke bak distributor.
* Pembuatan bak distributor.
* Bis beton 80 cm (selanjutnya disebut bak B) diletakkan ditempat yang datar dan lantai dasarnya disemen agar tidak bocor.
* Bis beton 40 cm (selanjutnya disebut bak A) diletakkan bertumpuk ditengah bis beton ukuran 80 cm, pada bagian sambungan disemen agar tidak bocor.
* Dengan demikian air yang melimpah dari bak A akan ditampung di bak B.
* Misal kita akan menyalurkan air kepada 20 KK, maka pada bak A harus tersedia 20 lubang (pintu air), lubang-lubang tersebut dipasangi pipa paralon diameter 0.5 inchi yang telah dipotong-potong sepanjang 25 cm.
* Artinya jika air dengan debit 0,4 l/detik atau 400 cc/detik mengalir dari sumber air ke bak A hingga terisi penuh, kemudian melimpah melalui lubang pipa paralon, maka debit aliran air yang keluar dari tiap pipa pralon adalah 400 cc/detik : 20 lubang = 20 cc/detik/ pipa paralon.
* Selanjutnya 7 lubang disalurkan langsung ke rumah warga, berarti yang tersalurkan adalah 7 x 20 cc/detik = 140 cc/detik, sisanya (400 cc/detik - 140 cc/detik = 260 cc/detik) meluap melalui 13 lubang dan ditampung oleh bak B.
* Pada bagian dinding bawah bak B dipasang paralon untuk menyalurkan air ke bak berikutnya (bak C) dengan debit 260 cc/detik).
* Berikutnya kita buat bak distributor yang sama dan diletakkan di lokasi lain yang posisinya lebih rendah( kita sebut bak C dan D). Perhatikan gambar 2. Perbedaannya jika bak A memiliki 20 lubang pralon, maka bak C dibuat 13 lubang sehingga debit aliran air tetap sama 20 cc/detik/lubang (260 cc/detik : 13 lubang = 20 cc/detik/lubang).
* Selanjutnya 5 lubang disalurkan ke rumah warga, berarti yang tersalur adalah 5 x 20 cc/detik = 100 cc/detik. Sisa air (260 cc/detik - 100 cc/detik = 160 cc/detik) yang tertampung pada bak D disalurkan ke bak E.
* Bak E dibuat 8 lubang untuk disalurkan ke rumah warga, sehingga jumlah total pipa yang tersalur untuk warga adalah 7 KK dari bak A + 5 KK dari bak C + 8 KK dari bak E = 20 KK.


Cara perawatan
Bak-bak pembagi tidak perlu ditutup rapat agar tekanan permukaan sama, sehingga debit per lubang sama besar. Gotong royong pembersihan dan perawatan jaringan harus dilakukan secara rutin dan terjadwal, agar air tetap bersih dan jaringan tidak bocor ataupun tersumbat. Sisa air yang digunakan untuk keluarga dapat digunakan untuk minum ternak, perikanan maupun pertanian skala kecil.

Sumber: http://yogya.litbang.deptan.go.id
Diposkan oleh Alex di 22:42
Label: Air, Sumber Daya Alam
Air Bersih: Sumber Daya yang Rawan
Oleh Richard Middleton

Air merupakan unsur utama bagi hidup kita di planet ini. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam bidang kehidupan ekonomi modern kita, air juga merupakan hal utama untuk budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.

Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, 2 miliar orang kini menyandang risiko menderita penyakit murus yang disebabkan oleh air dan makanan. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak-anak setiap tahun.

Sumber-sumber air semakin dicemari oleh limbah industri yang tidak diolah atau tercemar karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Kalau kita tidak mengadakan perubahan radikal dalam cara kita memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan negara.

Banyak orang memang memahami masalah-masalah pencemaran dan lingkungan yang biasanya merupakan akibat perindustrian, tetapi tetap saja tidak menyadari implikasi penting yang dapat terjadi. Sebagian besar penduduk bumi berada di negara-negara berkembang; kalau orang-orang ini harus mendapatkan sumber air yang layak, dan kalau mereka menginginkan ekonomi mereka berkembang dan berindustrialisasi, maka masalah-masalah yang kini ada harus disembuhkan. Namun bagaimanapun masalah persediaan air tidak dapat ditangani secara terpisah dari masalah lain. Buangan air yang tak layak dapat mencemari sumber air, dan sering kali tak teratasi. Ketidaksempurnaan dalam layanan pokok sistem saluran hujan yang kurang baik, pembuangan limbah padat yang jelek juga dapat menyebabkan hidup orang sengsara. Oleh karena itu, meskipun makalah ini memusatkan diri terutama pada air dan sanitasi, dalam jangka panjang akan sangat penting memikirkannya dari segi pengintegrasian layanan-layanan lingkungan ke dalam suatu paket pengelolaan air, sanitasi, saluran, dan limbah padat yang komprehensif.

***Ketersediaan dan Kelangkaan Air

Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi, yang meliputi 70% permukaannya dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik. Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan kedalaman rata-rata 3 kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah.

Dalam satu tahun, rata-rata jumlah tersebut tersisa lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar yang dapat diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Bandingkan dengan jumlah penyedotan yang kini hanya ada sedikit di atas 3.000 kilometer kubik tiap tahun. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas kelihatannya cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Misalnya, lembah sungai Amazon memiliki sumber yang cukup tetapi mengekspor air dari sini ke tempat-tempat yang memerlukan adalah tidak ekonomis.

Selain itu, angka curah hujan sering sangat kurang dapat dipercaya, sehingga persediaan air yang nyata sering jauh di bawah angka rata-rata yang ditunjukkan. Pada musim penghujan, hujan sangat hebat, namun biasanya hanya terjadi beberapa bulan setiap tahun; bendungan dan tandon air yang mahal diperlukan untuk menyimpan air untuk bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir. Bahkan di kawasan-kawasan "basah" ini angka yang turun-naik dari tahun ke tahun dapat mengurangi persediaan air yang akan terasa secara nyata. Sedangkan di kawasan kering seperti Sahel di Afrika, masa kekeringan yang berkepanjangan dapat berakibat kegagalan panen, kematian ternak dan merajalelanya kesengsaraan dan kelaparan.

Pembagian dan pemanfaatan air selalu merupakan isu yang menyebabkan pertengkaran, dan sering juga emosi. Keributan masalah air bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya.

Karena air yang dapat diperoleh dan bermutu bagus semakin langka, maka percekcokan dapat semakin memanas. Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang.

Lebih parah lagi, penduduk dunia yang kini berjumlah 5,3 miliar mungkin akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025. Beberapa ahli memperkirakan bahwa tingkat itu akan menjadi stabil pada angka 16 miliar orang. Apapun angka terakhirnya, yang jelas ialah bahwa tekanan yang sangat berat akan diderita oleh sumber-sumber bumi yang terbatas. Dan laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sebagian besar angka pertumbuhan penduduk terpusat pada kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk secara menyeluruh di negara-negara berkembang kira-kira 2,1 persen setahun, tetapi di kawasan perkotaan lebih dari 3,5%. Daerah kumuh perkotaan atau hunian yang lebih padat di kota yang menyedot pemukim baru termiskin tumbuh dengan laju sekitar 7% setahun.

Hunian pinggiran yang lebih padat sering dibangun secara membahayakan di atas tanah yang tak dapat digunakan untuk apapun, seperti bukit-bukit terjal yang labil atau daerah-daerah rendah yang rawan banjir. Kawasan semacam itu tidak sesuai dengan perencanaan kota yang manapun, dipandang dari segi tata-letak ataupun kebakuan. Karena kawasan semacam itu dianggap sah secara hukum dan bersifat "darurat", pemerintah kota biasanya tidak cepat melengkapinya dengan prasarana seperti jalan, gedung sekolah, klinik kesehatan, pasokan air, dan sanitasi. Namun sebenarnya hunian semacam ini tak pelak akan menjadi pola bagi kota yang harus dilayani dengan prasarana modern; hal ini mempunyai implikasi-implikasi baik untuk pemecahan secara teknis maupun secara lembaga yang akan diperlukan sebagai syarat supaya segala layanan mencapai semua orang dan berkesinambungan.

Di sementara negara, masalah terbesar mengenai persediaan air berkembang bukan hanya dari masalah kelangkaan air dibanding dengan jumlah penduduk, melainkan dari kekeliruan menentukan kebijakan tentang air, dan baru menyadari masalah-masalah tersebut lama setelah akibat yang tak dikehendaki menjadi kenyataan. Jadi meskipun penambahan investasi dalam sektor ini diperlukan, penambahan itu perlu disertai dengan perubahan: Prioritas utama haruslah pada cara pemanfaatan paling bijak terhadap investasi besar yang telah ditanam dalam sektor ini setiap tahun.

Penggunaan dan Penyalahgunaan Sumber Air

Pertanian beririgasi merupakan pengguna air terbesar. Pada umumnya lebih 80% dari air yang ada dicurahkan khusus untuk pertanian. Tetapi karena biasanya air disalurkan dengan gratis atau dengan tarif yang banyak disubsidi, maka kecil sekali dorongan niat untuk menggunakan air secara efisien, dan retribusinya, jika ada, tidak akan mencukupi untuk pemeliharaan yang layak. Maka hasilnya ialah penggunaan yang sangat tidak efisien efisiensinya kira-kira hanya di bawah 40% untuk seluruh dunia dan kemerosotan mutu yang semakin melaju pada sistem yang semakin besar.

Sesungguhnya efisiensi dapat ditingkatkan dengan baik dengan perbaikan cara pengoperasian dan pemeliharaan sistemnya perbaikan saluran, pendataran lahan supaya pembagian air dapat merata, penyesuaian antara banyaknya pelepasan air dari tandon dan keperluan senyatanya di daerah hilir, dan pengelolaan yang lebih efektif apabila air tersebut sudah sampai di lahan pertanian atau dengan menggunakan teknik yang lebih efisien seperti irigasi tetesan. Perbaikan-perbaikan semacam itu sangat penting mengingat besarnya dampak permintaan irigasi dan rasa keadilan bagi penduduk perkotaan yang berjuang untuk kelangsungan pasok air yang memadai. Sandra Postel, seorang pakar dalam penggunaan air dari Worldwatch Institute mengatakan: "Hanya dengan meningkatkan 10% efisiensi penggunaan air di seluruh dunia, kita akan dapat menghemat air yang cukup untuk memasok semua air keperluan hunian di seluruh kawasan dunia".

Penghamburan air sungguh disayangkan sebab biasanya hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas pertanian seperti yang diharapkan. Tiadanya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas.

* Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB memperkirakan bahwa, karena terjadinya penggaraman atau jeleknya drainase, seluas 45 juta hektar lahan pertanian beririgasi di negara-negara berkembang memerlukan reklamasi hampir separo dari 92 juta hektar tanah beririgasi di kawasan dunia berkembang.

Tabel 1: Lingkup Pasokan Air dan Layanan Sanitasi di Negara-negara Berkembang
PENDUDUK
( JUTA)

1980


1990
Jumlah Tanpa pasok air Tanpa sanitasi Jumlah Tanpa pasok air Tanpa sanitasi

Kota


933


213 (23%)


292 (31%)


1.332


243 (18%)


377 (28%)

Desa


2.303


1.613 (70%)


1.442 (63%)


2.659


989 (37%)


1.364 (51%)
Sumber: Hasil-hasil Dasawarsa Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Internasional (1981-1990). Laporan No. A/45/327 UNESCO, Juli 1990, dengan beberapa ralat kecil menurut Kinley, David berjudul "Running Just to Stay in Place", dalam Choice, Volume 2, No. 4, Desember 1993.

* Di sejumlah negara, terjadinya tanah kubangan dan penggaraman tanah telah menghilangkan produktivitas tanah pertanian beririgasi seluas lahan yang dibuka oleh proyek-proyek irigasi pada tahun-tahun akhir ini.
* Di Mesir, suatu negara dengan ekonomi langka tanah, hampir separo dari tanah yang dibudidayakan terutama di bagian barat delta Sungai Nil mempunyai tinggkat penggaraman yang demikian tinggi sehingga berdampak pada produksi tani, menurunkan hasil, dan mengarah pada penelantaran lahan irigasi, baik sementara maupun selamanya.
* Suatu perkiraan di Meksiko, hilangnya panen yang disebabkan oleh penggaraman tanah mencapai 1 juta ton panen bahan makan, suatu jumlah yang cukup untuk mencatu kebutuhan pokok makanan untuk 5 juta orang.

Industri sesungguhnya menggunakan air jauh labih sedikit apabila dibandingkan dengan irigasi, namun dampaknya mungkin parah, dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan air permukaan atau air bawah tanah menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi.

Penggunaan air bagi industri seringkali juga sangat tidak efisien. Karena tidak dapat memasok kebutuhan industri melalui sistem yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan karena dorongan yang menggebu untuk pertumbuhan ekonomi, perusahaan industri mengembangkan sendiri jaringan airnya secara swasta. Biaya air semacam ini seringkali sangat rendah, dan karena biaya tersebut hanya merupakan bagian kecil dari seluruh biaya manufaktur, maka mereka tidak merasa terdorong untuk mengadakan konservasi. Sebagai contoh di Bangkok, Thailand, yang sangat menderita akibat penghisapan air bawah tanah yang berlebihan, biaya yang harus dikeluarkan air dari perusahaan air metropolitan berlipat delapan kali dari biaya yang diperlukan untuk memompa air tanah secara swasta.

Banyaknya air yang diperlukan untuk manufaktur dapat sangat berbeda-beda, tergantung pada proses industri yang diterapkan dan ukuran daur ulangnya. Memproduksi satu ton baja dapat saja menghabiskan sampai 190.000 liter air atau hanya 4.750 liter, dan satu ton kertas dapat menghabiskan sampai 340.000 liter atau hanya 57.000 liter. Pengaturan yang tepat untuk penyedotan air dan pengenaan biaya yang benar untuk air tersebut akan dapat mendorong orang untuk menggunakannya secara lebih efisien tanpa harus mempengaruhi biaya produksi secara mencolok. Biaya penggunaan air, bahkan di negara-negara yang tarifnya pun sudah sesuai dengan biaya menyeluruh pemeliharaan sumber, biasanya hanya merupakan bagian yang sangat kecil (1% sampai 3%) dari biaya produksi industri.
Tabel 2: Kemungkinan Pembatasan Penyakit Melalui Pasokan Air dan Sanitasi
Jenis penyakit Perkiraan banyaknya kasustiap tahun di negara-negara berkembang (kecuali cina) Kemungkinan penyusutan lewat peningkatan pasokan air dan sanitasi
Diare (murus)

875 juta


225 juta (26%)
Cacing gelang (askaris)

900 juta


260 juta (26%)
Cacing guinea

4 juta


3 juta (78%)
Cacing tambang

800 juta


615 juta (77%)
Trakoma

500 juta


135 juta (27%)
Karena keterbatasan data, semua angka di atas mengacu kepada kasus sakit, bukan kematian. Lagi pula hendaknya dicatat bahwa tindakan yang diambil dapat mengurangi kasus kematian tetapi bukan kasus sakit.

Sumber: Berdasar tulisan Esrey, Steven A., dkk, "Manfaat Kesehatan dari Perbaikan dalam Pasokan Air dan Sanitasi. Laporan Teknik No. 66 Pasokan Air dan Sanitasi Arlington, Virginia: Proyek Air dan Sanitasi untuk Kesehatan, Juli 1990.

Bahkan di industri-industri yang "padat air" jumlah air yang dipakai sangat kecil biasanya 20% pada industri pengolahan pangan, 25% pada industri kertas, dan 33% pada tekstil. Sisanya didaur-ulang (kecenderungan ini semakin meningkat di negara-negara industri) atau dikeluarkan sebagai limbah cair. Penentuan tarif yang lebih realistik, meskipun penting untuk sektor ini, tetap saja tidak merupakan dorongan untuk penggunaan yang lebih efisien. Yang lebih penting adalah pengetatan alokasi air dan persyaratan pengendalian pencemaran yang lebih keras. Contohnya seperti Israel yang memiliki peraturan standar penggunaan air untuk berbagai macam industri, dan memberi alokasi pembagian air yang disesuaikan. Sebagai hasilnya, di negara itu rata-rata penggunaan air per unit produksi industri anjlok hingga 70% selama dua dekade ini.

Air buangan industri sering dibuang tanpa melalui proses pengolahan apapun. Air tersebut dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.

Cara menolongnya adalah pencegahan bukan penyembuhan. Seperti laporan dari Bank Dunia dan Bank Investasi Eropa berjudul Pencemaran Industri di Kawasan Laut Tengah: "Perbaikan pada efisiensi dalam pengoperasian dan pemulihan sumber air jauh lebih baik dan kemungkinan besar akan memberikan hasil yang lebih banyak daripada pengolahan pada akhir proses yang mahal, sebab banyak masalah pencemaran berkaitan langsung dengan masalah-masalah pengoperasian dan pemeliharaan, serta rendahnya niat untuk konservasi dan pemulihan sumber air".

Penilaian terhadap masalah lingkungan di kawasan Laut Tengah yang dilaksanakan oleh kedua organisasi tersebut menemukan bahwa pengolahan primer terhadap limbah industri hanya akan menghabiskan biaya sebesar 10% hingga 20% dari biaya pengolahan secara lengkap, namun dapat membuang 50 hingga 90 persen bahan-bahan polutan yang paling berbahaya. Penyusutan buangan limbah industri yang efektif, termasuk pengolahan primer, mungkin akan lebih berdampak lebih baik terhadap lingkungan daripada mengutamakan cara pengolahan lengkap terhadap limbah perkotaan yang volumenya jauh lebih kecil.

Tabel 3: Perkiraan Modal untuk Penyediaan Pemasok Air Baru dan
Layanan Pembuangan Limbah Air *)
Th. 1900, jumlah penduduk yang terlayani (juta) Th. 2000, jumlah penduduk (juta) Tambahan jumlah penduduk yang akan dilayani (juta) Perkiraan biaya per unit dalam dolar tiap orang Jumlah keseluruhan biaya dalm juta dolar
Pasokan air perkotaan 1.089 1.900 811 1300 105.000

Pembuangan
limbah air 955 1.900 945 350 331.000
Jumlah 436.000
*) Angka-angka yang disajikan di sini lebih kecil dari jumlah sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankan biaya universal. Karena pada masa lampau penekanan dipusatkan pada membangun yang baru, banyak sistem yang sekarang tidak beroperasi lagi atau rusak berat dan memerlukan rehabilitasi, yang tentunya menambah beban berat terhadap kebutuhan finansial. Perkiraan di atas juga tidak memasukkan investasi besar yang diperlukan untuk keperluan perlindungan.

Sumber: Data penduduk dari hasil-hasil selama Dasawara Pasokan Air Minum dan Sanitasi 1981-1990. Laporan No. A/45/327, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Juli 1990. Biaya satuan per kapita diperoleh dari evaluasi dan laporan proyek Bank Dunia. Perkiraan ini mengandaikan adanya sistem saluran air minum dan pembuangan terpusat yang penuh dalam rumah tangga. Angka-angka ini baru merupakan petunjuk dan hendaknya tidak dipakai untuk memperkirakan biaya untuk suatu wilayah tertentu.

Untuk memusatkan kepedulian pada jeleknya tingkat layanan di sektor air, PBB menjuluki tahun 1980-an sebagai "Dasawarsa Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Internasional". Ada beberapa peningkatan yang cukup nyata terutama dalam layanan penyediaan air kepada orang-orang miskin, tetapi pencapaian tersebut apabila dipandang dari segi lingkungan, idak sedramatik seperti yang diharapkan. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, sampai akhir dasawarsa tersebut, meskipun ada banyak peningkatan jumlah orang yang dilayani, namun
ternyata jumlah orang di perkotaan yang tidak terlayani juga meningkat.

Kiranya pantas dicatat bahwa statistik yang dipaparkan pada Tabel 1 tersebut hampir dapat dipastikan terlalu optimistik. Misalnya, statistik tersebut tidak mengungkapkan mutu layanan yang mungkin saja rendah dan dapat mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat. Sangat sering statistik itu mengasumsikan bahwa sekali dibentuk, sebuah sistem akan terus bekerja dengan baik, padahal keadaan sesungguhnya tidak selalu demikian.

Masalahnya bukan hanya karena tidak cukup persediaan air; air yang ada itu pun tidak dikelola secara layak atau dibagikan secara merata.

* Bagian air yang hilang karena kebocoran terlalu besar. Dengan menengok kembali pengalaman selama bertahun-tahun, Bank Dunia menemukan bahwa "air yang tidak tertagih" rata-rata mencapai 35% dari keseluruhan pasokan (air yang tak tertagih = UFW/ unaccounted-for water, yaitu air yang diproduksi tetapi tidak menghasilkan uang karena kebocoran atau "kerugian administratif"). Menaikkan penjualan air dari 65% ke, katakan 85%, akan berarti penghematan 30% terhadap keadaan sekarang.

*Sering sebagian besar air yang tersedia hanya digunakan oleh sejumlah kecil konsumen besar. Dalam suatu kota, 15% sambungan bermeter dapat menghasilkan 85% pemasukan uang dari konsumsi air. Enam persen peringkat atas dari seluruh rumah tangga mengkonsumsi lebih dari 30% seluruh konsumsi domestik, 0,1% dari atas menggunakan lebih dari 6%. Bahkan hanya 3 rangkaian industri saja membayar separo dari jumlah keseluruhan konsumsi industri.

* Para pengguna tersebut membayar terlalu rendah untuk layanan. Biaya rata-rata untuk produksi air oleh proyek pemasok yang dibiayai oleh Bank Dunia dalam masa 1966-81 adalah $ 1,29 untuk setiap 1.000 galon (+ 3.800 l). Harga rata-rata untuk setiap 1.000 galon kira-kira $ 0,69. Karena tingkat rata-rata air yang tidak menghasilkan uang mencapai hingga 35% maka harga efektif setiap 1.000 galon menjadi hanya $ 0,45, atau kira-kira hanya 1/3 biaya memproduksinya.

* Kelompok orang lain terpaksa menggunakan alternatif yang mahal. Dale Whittington dan rekan-rekannya mencatat dalam tulisan yang berjudul Penyajian Air dan Pembangunan: Pelajaran dari Dua Negara, "Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya."

Karena masalah-masalah tersebut maka para pengusaha air di beberapa negara berkembang hidupnya sangat pas-pasan. Tarif yang dikendalikan secara politis biasanya terlalu rendah untuk menutup biaya produksi; namun demikian banyak tagihan rekening air tetap tidak terbayar, sehingga usaha perawatan untuk pencegahan tidak terpedulikan. Oleh karena itu banyak kota yang berputar semacam lingkaran: Perbaikan yang paling utama ditunda hingga sistem jaringannya mencapai ambang kerusakan, tepat pada waktu itu dimulailah babak baru suatu proyek penanaman modal yang besar. Pada gilirannya, karena desakan dari tuntutan layanan, hal tersebut akan menyebabkan pemerintah kota terjebak dalam masa depan yang tak menentu.

Dalam hal demikian, biasanya mereka lebih mudah memperoleh dana untuk membangun sistem penyediaan baru, yang secara politis sangat gampang dilihat, daripada mencari dana untuk memperbaiki barang-barang yang mendekati kebobrokan. Pemusatan perhatian pada perluasan pasokan dan tidak adanya kebijakan nasional yang mengharuskan pengalokasian air lebih efisien, mengarah pada keparahan penyedotan yang berlebihan terhadap jaringan lapisan sumber air bawah tanah di banyak negara, diiringi dengan akibat yang serius yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya yaitu kelangkaan air, permukaan air yang jatuh di bawah saluran pompa penyedot, dan air garam yang terserap ke dalam jaringan lapisan sumber air dan menyebabkan air tak dapat dimanfaatkan untuk minum atau irigasi.

* Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan.

* Pada suatu konperensi yang diselenggarakan baru-baru ini, seorang wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam.

Penyia-nyiaan sumber air semacam ini tidak terbatas hanya pada negara-negara berkembang saja; eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber juga merupakan masalah yang serius di banyak derah di Amerika Serikat. Seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami. Selama 4 dasawarsa terakhir, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian.

Sumber-sumber air juga mengalami kemerosotan mutu. Di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, sumber-sumber tersebut juga mengalami pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya.

Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber. Banyak rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Bahkan andaikan hal ini tidak mengakibatkan masalah dari para penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan, sebab limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan.

Itulah masalah-masalah para penerima layanan. Namun, kira-kira 30% penduduk perkotaan harus menerima keadaan bahwa mereka tidak memiliki perangkat sanitasi yang memadai. Hal ini berarti bahwa dalam suatu kota berpenduduk 10 juta orang, setiap hari ada kira-kira 750 ton limbah manusia yang tak tertampung dan menumpuk di sembarang tempat -mungkin 250.000 ton zat-zat penyebab penyakit tersebar di jalan-jalan dan di tempat-tempat umum, atau di saluran-saluran air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar