Selasa, 06 April 2010

Studi Troposfer menggunakan GPS ATMOSFER BUMI

Studi Troposfer menggunakan GPS

ATMOSFER BUMI

Atmosfer adalah campuran gas yang mengelilingi permukaan bumi. Campuran gas ini mengitari bumi karena ditarik oleh gaya gravitasi yang ada pada bumi dan campuran gas ini disebut dengan udara. Lapisan gas tersebut mengelilingi bumi dengan ketebalan yang sulit untuk ditentukan secara teliti, namun ketebalan rata-rata dari atmosfer ini ditentukan kira kira 500 km [Spiegel & Gruber, 1983].

Udara bercampur secara baik di atmosfer. Meskipun bercampur, atmosfer mempunyai perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam temperatur dan tekanan dalam setiap perbedaan ketinggiannya. Perbedaan ini didefinisikan ke dalam sejumlah lapisan atmosfer.

Lapisan atmosfer ini terdiri dari troposfer (0-16 km), stratosfer (16-50 km), mesosfer (50-80 km) dan termosfer (80-640 km). batas antara keempat lapisan ditentukan dengan perubahan temperatur yang mencolok, dan termasuk berturut-turut tropopause, stratopause, dan mesopause. Di dalam troposfer dan mesosfer, temperatur secara umum menurun sesuai dengan kenaikan ketinggian, sebaliknya pada stratosfer dan termosfer, temperatur naik seiring dengan kenaikan ketinggian [pettersen,1958;Miller et al,1983].

Hampir seluruh udara (90 %) mengandung uap air dan sisanya tidak mengandung uap air [Kurniawan, 1998]. Udara yang tidak mengandung uap air ini disebut dengan udara kering.

—————————————————————————————————————————————————

LAPISAN TROPOSFER

Lapisan troposfer merupakan persentase terbesar dari total masa atmosfer yaitu lebih dari 75%. Sedangkan sisanya menyebar pada lapisan yang lain [Spiegel &Gruber, 1983]. Troposfer tersusun atas nitrogen ( 78 %) dan oksigen (21 %) dengan hanya sedikit konsentrasi gas lainnya.

Penurunan rata-rata temperatur pada troposfer adalah 6.5° C/km [Pettersen, 1958]. Tingkat penurunan ini dikenal dengan susut temperatur rata-rata troposfer. Susut temperatur maksudnya adalah derajat penurunan temperatur. Di tempat yang temperaturnya berkurang sejalan dengan ketinggian seperti lazimnya pada troposfer susut temperaturnya adalah positif. Berkurangnya temperatur terhadap ketinggian pada troposfer ini disebabkan oleh [ Yulanda, 1997] : Pemanasan udara yang terbanyak berasal dari bumi, uap air dan debu yang menyerap panas, semakin keatas semakin berkurang, udara pada lapisan bawah lebih rapat daripada lapisan diatas sehingga udara pada lapisan bawah lebih panas

Ketika melalui troposfer, sinyal GPS akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan kecepatan dan arah sinyal GPS. Efek utama dari troposfer dalam hal ini adalah terhadap hasil ukuran jarak dari satelit GPS ke receiver GPS di permukaan [Abidin, 2000]. Data pseudorange dan data fase keduanya sama diperlambat oleh troposfer, dan besar magnitudo dari bias troposfer pada kedua data pengamatan tersebut adalah sama. Magnitudo dari bias troposfer berkisar sekitar ≈ 2.3 m di arah zenit sampai ≈ 20 m pada 100 m di atas horison [Abidin, 2000; Seeber, 1993; Wells et al, 1986].

—————————————————————————————————————————————————

Kandungan Uap Air dalam Troposfer

Uap air adalah air yang berada pada fase gas. kandungan uap air dalam troposfer menurun secara tajam dengan kenaikan ketinggian. Kandungan uap air memainkan peranan penting dalam mengatur temperatur udara karena menyerap radiasi matahari dan radiasi termal dari permukaan bumi. Uap air terbesar berada diatas daerah tropis. Jumlahnya bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun secara umum diperkirakan jumlah atau konsentrasi uap air di atmosfer berkisar antara hampir 0% sampai 4%. Maksudnya adalah 4 gram air untuk setiap 100 gram udara. Perubahan ekstrim menurut tempat dan waktu dari jumlah uap air di atmosfer tersebut disebabkan karena kemampuan air yang unik untuk berada pada tiga fase (gas, cair, dan padat) pada temperatur yang biasanya terdapat di bumi [Miller, 1983]

Dari jumlah yang berkisar antara 0 % sampai denga 4% tersebut, hampir keseluruhannya ( 99 %) berada pada lapisan troposfer. Pada troposfer, air pada bentuk cair ditemukan sebagai gerimis (hujan rintik), awan, kabut, dan embun. Es merupakan air dalam bentuk padat dan ditemukan dalam atmosfer dalam berbagai bentuk, seperti salju, hujan es (hail), hujan es yang bercampur salju, awan kristal es, dan butiran salju (snow pellets) [Spiegel &Gruber, 1983]. Sedangkan bentuk gas dari air disebut dengan uap air, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua fenomena cuaca terjadi di dalam lapisan troposfer. Ini disebabkan karena pegerakan vertikal atau konveksi udara membangkitkan awan-awan yang menyebabkan terjadinya hujan dari uap air dalam troposfer, dan memberikan banyak perubahan dalam cuaca.

Pada tropopause, temperatur mengalami kestabilan. Tropopause ini adalah lapisan yang membatasi troposfer dan stratosfer. Temperatur udara mulai meningkat di dalam stratosfer. Peningkatan temperatur mencegah terjadinya konveksi udara diluar tropopause, dan konsekuensinya banyak fenomena cuaca, termasuk awan petir cumulonimbus yang paling tinggi terjadi di dalam troposfer.

Jumlah kandungan uap air yang tepat yang berada pada setiap tempat dan waktu sangat penting untuk diketahui oleh para ahli meteorologi. Peranan penting yang dimaksud adalah [Miller, 1983] : Uap air merupakan penyerap radias yang sangat penting di udara dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan energi di atmosfer. Pelepasan panas laten dari proses kondensasi merupakan sumber energi yang penting untuk memelihara proses-proses cuaca yang terjadi di atmosfer. Kandungan uap air merupakan komponen yang sangat penting bagi peramalan cuaca.

————————————————————————————————————————————————–

STUDI TROPOSFER MENGGUNAKAN TEKNOLOGI GPS

Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal gelombang elektromagnetik yang sebelum diterima oleh antena receiver GPS akan melewati medium lapisan-lapisan atmosfer yaitu ionosfer dan troposfer. Dalam kedua lapisan ini, sinyal GPS akan mengalami gangguan (bias) sehingga jarak yang dihitung akan memberikan nilai yang mengandung kesalahan. Jarak digunakan untuk menghitung posisi titik. Dalam lingkup kajian GPS, kedua lapisan ini menjadi bias tersendiri yang harus dikoreksi sebelum menentukan posisi titik.

Bias yang disebabkan oleh adanya lapisan troposfer dan ionosfer ini ditambah dengan kesalahan orbit dan waktu akan menyebabkan kesalahan pada ukuran jarak dari satelit GPS ke antena receiver, yang akan menyebabkan kekurang telitian pada penentuan posisi pengamat. Oleh karena itu estimasi besaran bias troposfer dan ionosfer perlu dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih teliti. Bias yang diakibatkan oleh lapisan troposfer memberikan efek yang lebih signifikan jika diakibatkan oleh bias yang diakibatkan oleh lapisan ionosfer, terutama terhadap komponen tinggi yang di berikan oleh GPS [Abidin et al,1998].

Metode yang digunakan dalam penentuan bias troposfer ini adalah dengan menggunakan metode inversi GPS. Metode inversi ini pada dasarnya adalah menentukan besarnya penyimpangan jarak dari satelit GPS ke antena receiver GPS sebagai akibat dari perlambatan waktu tempuh selama sinyal melewati lapisan troposfer. Penyimpangan jarak akibat perlambatan waktu tempuh sinyal GPS umumnya disebut dengan Zenith Tropospheric Delay (ZTD). Harga ZTD ini nantinya dijadikan sebagai faktor koreksi untuk menentukan jarak dari satelit GPS ke antena receiver GPS yang bebas pengaruh troposfer.

Besaran ZTD juga dapat digunakan untuk mengkarakterisasi dan menganalisis kondisi troposfer di sekitar daerah pengamatan GPS. Hal ini dapat dilakukan dengan memisahkan komponen basah (wet component) dari ZTD, sehingga diperoleh ZWD (Zenith Wet Delay) yang lebih dikenal dengan sebutan wet delay. Wet delay yang diperoleh selanjutnya akan dipantau dan dipetakan, yang pada tahapan berikutnya akan dianalisis untuk berbagai keperluan aplikasi, terutama dalam bidang meteorologi (GPS-Meteorology).

Analisis dari pemantauan wet delay terhadap kondisi meteorologis suatu daerah tentunya berlainan antara yang satu dengan yang lainnya, diantaranya tergantung dari lokasi geografis dan kondisi topografis dari daerah penelitian tersebut. Selain itu cakupan wilayah juga menjadi faktor penting dalam analisis tersebut.

————————————————————————————————————————————————–

Studi Kondisi Troposfer di Kota Bandung

KK Geodesi bekerjasama dan KK dari prodi Geofisika Meteorologi telah melakukan penelitian atau studi GPS Meteorologi. Akronim GPS Meteorologi ini yaitu teknik pemantauan karakteristik troposfer dengan memanfaatkan inversi data GPS. Studi GPS Met ini dilakukan oleh KK Geodesi diantaranya di daerah kota Bandung dan sekitarnya.

Akuisisi data dilakukan sebanyak empat kala. Kala pertama dan kedua pada bulan September dan November 2001, sedangkan yang ketiga dan keempat adalah pada bulan Juni dan Agustus 2002. Setiap kala, pengamatan dilakukan pada satu hari penuh. Dimulai dari pukul 09.00 sampai pukul 17.07 WIB. Selama delapan jam pengamatan itu, diupayakan setiap jam-nya terdapat titik-titik sampel stasion pengamatan GPS yang mewakili kota Bandung. Untuk setiap jam pengamatan, dibagi ke dalam tiga segmen waktu pengamatan. Tiap segmen waktu dimulai dari menit ke-0, menit ke-20, dan menit ke-40. lamanya pengamatan tiap segmen adalah tujuh (7) menit dengan epoch interval sebesar 3 detik, elevation mask angle sebesar 150.

Setelah pengambilan data lapangan selesai, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data GPS, yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komersial SKI PRO. Strategi pengolahan dilakukan dengan mereduksi secara maksimum kesalahan dan bias yang ada, sehingga yang tertinggal hanyalah hasil inversi yang berupa data ZWD. Selanjutnya masing-masing titik amat diplot posisi geografisnya dalam sistem koordinat UTM, dan data ZWD untuk masing-masing titik amat itu kemudian dijadikan sebagai data kontur pada pengeplotan posisi dalam sistem koordinat UTM. Peta ‘kontur PWV’ itu diasumsikan merupakan peta dari satu jam pengamatan GPS. Pada akhirnya akan merupakan suatu rangkaian “peta kandungan uap air relatif kota Bandung” untuk1 hari pengamatan yang dilakukan.

Dari hasil pengolahan data diperoleh kesimpulan yaitu kecenderungan umum wet delay kota Bandung meningkat dari barat laut hingga ke tenggara. Kecenderungan ini nampak dari semua peta yang dibuat. Meskipun setiap peta memiliki karakterisitik sendiri yang membedakan dengan peta lainnya. Ditinjau dari segi ketinggian daerah, Semakin tinggi posisi titik di permukaan bumi, maka harga wet delay akan rendah pula. Lihat juga [Wedyanto et.al, 2001 a] untuk penelitian kondisi udara di Gunungapi Batur. Kondisi geografis kota Bandung berada di daerah tropis yang bertekanan rendah. Sehingga udara mengalir dari 300 LU dan 300 LS. Aliran udara dari 300 LU disebut angin pasat timur laut. Sedangkan yang berasal dari 300 LS disebut angin pasat tenggara [Setyoko, 1984]. Selain dipengaruhi oleh angin pasat, iklim di kota Bandung juga dipengaruhi angin musim (monsun) [Avia, 1994].

Kondisi meteorologis kota Bandung juga dipengaruhi oleh kondisi lokal. Kondisi lokal ini bisa berupa penguapan, curah hujan, pemanasan permukaan bumi, partikel buangan industri atau kendaraan bermotor maupun dari aktivitas masyarakat. Diduga tekanan massa udara (angin) datang dari arah selatan-tenggara menuju pusat kota Bandung. Disinilah terjadi suatu ‘benturan’, ketika angin itu membentur angin yang berasal dari arah utara melalui celah Lembang. Benturan itu kemudian bergerak ke arah timur laut. Selanjutnya, ketika cuaca cerah, terjadi penguapan sehingga kandungan uap air meningkat. Peningkatan ini semakin besar ketika cuaca mulai mendung karena akan segera turun hujan. Sedangkan ketika hujan turun, kandungan uap air berkurang. Setelah hujan selesai, perbedaan kandungan uap air terjadi di beberapa daerah. Ada yang kembali meningkat, yang relatif tidak berubah, ada juga yang malah berkurang. Perbedaan ini diduga karena lebih banyak dipengaruhi aktivitas lokal lainnya.

Pusat Kota Bandung, secara umum menunjukkan aktivitas berbeda dengan lokasi lain, yang ditunjukkan dengan tingginya komponen basah (wet delay) disaat komponen basah di lokasi-lokasi lain sedang rendah, demikian sebaliknya. Hal ini berarti berkorelasi dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut dengan komponen basah yang dihasilkan. Walaupun demikian, secara umum juga dapat dideteksi bahwa pada pk.16:00-17:00 kondisi basah berkurang di seluruh cekungan Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar