Minggu, 04 April 2010

BANJIR

SIAGA BANJIR KIRIMAN DI SOLO

Musim penghujan tahun ini mengalami kemunduran sekitar 2 sampai 3 bulan karena terpengaruh peristiwa El Nino di Samudra Pasifik. Dampaknya, Bulan Desember yang biasanya menjadi klimaks hujan di Indonesia justru menjadi start musim penghujan tahun ini. Dengan gambaran ini, besar kemungkinan klimaks curah hujan Indonesia terjadi pada Bulan Maret 2010.

Bulan Maret adalah bulan siaga banjir Kota Solo, dimana satu bulan sebelumnya banjir sudah menjenguk Jawa Timur dan Jawa Barat.

Pada dasarnya Banjir Solo dapat dibagi menjadi dua tipe. Tipe yang pertama adalah banjir kiriman dari arah Gunung Lawu (melalui DAS Keduang, Walikan, Jlantah dan Samin), dari arah Perbukitan Seribu (melalui DAS Solo Hulu, Alang ngungahan, Wuryantoro dan Kalikatir), serta dari arah Merapi dan Merbabu yaitu DAS Brambang, Dengkeng dan Pepe. Tipe banjir ini membahayakan Kota Solo yang lokasinya berada di cekungan antar gunung-gunung tersebut (intermountain basin). Sifat banjir kiriman magnitude-nya besar, luas dan durasinya lama sehingga membahayakan. Lokasi yang diterjang adalah daerah pinggir kota yang khususnya berdekatan dengan sungai primer (Bengawan Solo) dan sungai sekunder (Kali Anyar, Pepe, Premulung).

Tipe yang kedua adalah banjir lokal yang merupakan penggenangan akibat luapan dari Kota Solo sendiri. Banjir ini memiliki magnitude kecil, sempit dan cepat, namun karena lokasinya biasanya di tengah kota sehingga cukup mengganggu aktivitas ekonomi dan transportasi. Tipe banjir inilah yang sering terjadi belakangan ini. Lalu akankah terjadi banjir kiriman juga seperti tiga tahun sebelumnya?

Hujan deras yang terjadi belakangan ini cukup mencuri perhatian warga Solo untuk meningkatkan kewaspadaan. Pengalaman banjir selama 3 tahun terakhir ini memang telah membuat warga Solo terbangun dari tidur panjangnya karena telah lama tersihir oleh kenyamanan infrastruktur banjir yang ada. Sehingga kesensitifan akan bahaya banjir yang siap menerjang berkurang. Banjir besar yang tercatat sebelumnya terjadi tahun 1993 yang menyebabkan genangan di sepanjang Kali Tanggul, Kali Jenes, sekitar percabangan Kali Anyar dan Kali Sumber serta muara Kali Pepe. Setelah tahun 1993 tidak tercatat lagi banjir yang signifikan sampai dengan banjir tahun 2007 terjadi.

Perlu diketahui, hasil penelitian penulis menyebutkan bahwa 46 % Kota Solo terbentuk karena proses banjir yaitu daerah Kerten, Laweyan dan Manahan ke arah timur hingga Bengawan Solo. Sedangkan sisanya 18 % terbentuk karena proses vulkanisme Merapi yaitu daerah Kerten, Laweyan dan Manahan ke barat dan 36 % terbentuk karena proses struktural (pengangkatan) yaitu daerah Jebres, Nusukan, Mojosongo dan Kadipiro. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa hampir setengah Kota Solo memang terbentuk akibat proses banjir, yang lokasinya berada di selatan hingga timur kota.

Kenapa jarang terjadi banjir besar ?

Kondisi morfologis dan geologis Kota Solo memang menunjukkan kondisi yang membahayakan. Namun hal ini dibarengi dengan kuatnya infrastruktur perlindungan banjir khususnya yang dibuat pada Jaman Kerajaan Surakarta, mengingat secara historis kota ini berperan sebagai ibukota kerajaan.

Infrastruktur perlindungan banjir Kota Solo yang terbesar adalah pelurusan Bengawan Solo yang dilakukan pada masa PB III. Pembangunan dua sistem banjir kanal yaitu Kali Anyar dan Kali Tanggul yang dibangun pada masa PB X. Serta dua sistem tanggul yaitu tanggul Kali Anyar dan Bengawan Solo yang dibangun pada masa PB X juga. Sistem tanggul Bengawan Solo sendiri sekarang memiliki lapis ganda yaitu tanggul dalam dan tanggul luar. Tanggul luar dibangun sekitar tahun 1980 bersamaan dengan proyek upper solo river improvement.

Prioritaskan Penanganan Daerah Terkorbankan

Kelemahan dari penanganan model protection (infrastruktur banjir) adalah sifatnya yang hanya memindahkan banjir bukan mengentaskan banjir, baik memindahkan banjir dalam Kota Solo maupun di luar Kota Solo.

Sebagai contoh pelurusan Bengawan Solo pada masa PB III. Bengawan Solo yang sebelumnya melewati daerah Semanggi dalam rangka melindungi Keraton Kasunanan akhirnya diluruskan/dipindah ke arah timur Semanggi. Pemindahan ini secara tidak langsung telah merugikan daerah Sangkrah dan Kampung Sewu yang merupakan hilir proyek pelurusan tersebut.

Kampung Sewu juga masih menjadi korban pelurusan Bengawan Solo kedua bersama dengan Pucangsawit dalam proyek upper solo river improvement antar Nguter – Jurug. Proyek pelurusan Bengawan Solo yang dilaksanakan sekitar tahun 1980 tersebut tidak begitu optimal di Kota Solo akibat sulitnya pembebasan lahan. Pelurusan dari Nguter hingga Bacem sangat optimal terbukti dengan bentuk sungai yang optimal lurus namun di Kota Solo tidak sama sekali, Bengawan dari daerah Sangkrah hingga Pucangsawit masih banyak ditemui meandering sungai yang menghambat arus pembuangan air dan bahkan di Kampung Sewu masih terdapat alur yang menikung hingga 90 derajat.

Jika dilihat dari pembangunan banjir kanal utara (Kali Anyar) yang berfungsi melindungi tengah kota dari luapan Kali Pepe juga merugikan daerah lain. Proyek ini mengorbankan daerah yang dilewati banjir kanal tersebut.

Begitu juga banjir kanal selatan (Kali Tanggul) yang berfungsi menyudet Kali Jenes dan dialirkan lurus ke Bengawan Solo. Banjir kanal selatan ini merugikan daerah Joyotakan yang lokasinya berbatasan dengan Kali Tanggul. Selain itu, kondisi fisik Joyotakan yang berupa cekungan dan memiliki beda tinggi yang minim dengan Kali Tanggul menjadikan Joyotakan berpotensi tinggi kebanjiran dari luapan Kali Tanggul atau back water Bengawan Solo yang melalui Kali Tanggul.

Jadi hal yang wajar jika daerah Pucangsawit, Kampung Sewu, Joyotakan dan Sangkrah merupakan daerah yang paling rentan banjir di Kota Solo, karena daerah ini merupakan daerah yang dikorbankan.

Daerah-daerah yang terkorbankan ini perlu penanganan lebih untuk mencapai keadilan pembangunan. Program relokasi yang dijalankan pemerintah cukup membantu sebagai bekal dalam rangka perlindungan daerah terkorbankan ini, yaitu dengan proyek ulang pelurusan Bengawan Solo dari Joyotakan hingga Jurug. Bantaran yang sudah tak berpenghuni bisa mempermudah perjalanan proyek. Untuk mendapatkan hasil pelurusan yang maksimal perlu kerjasama dengan Kabupaten Sukoharjo terutama pelurusan di timur Kampung Sewu dan Pucangsawit.

Model Penanganan Lainnya

Namun jika model perlindungan ini selalu ditingkatkan hingga mendapatkan model perlindungan yang ideal bagi seluruh wilayah Kota Solo, maka hal itu pun akan merugikan pihak di hilir Kota Solo yang merupakan daerah pembuangan banjir Kota Solo yaitu Kebakkramat (Karanganyar), Sragen hingga Ngawi. Jika Sragen / Ngawi memperbaiki infrastruktur perlindungan banjirnya, maka daerah di bawahnya yang kena. Begitu seterusnya hingga muara Bengawan Solo. Perlombaan melindungi diri sendiri dan mengorbankan pihak lain seperti ini bukanlah solusi yang baik.

Penanggulangan banjir model kedua adalah adjustment (penyesuaian diri) yaitu dengan menyesuaikan manusia dari daerah banjir. Salah satu metode yang mengadobsi konsep ini adalah program relokasi yang sudah diterapkan Pemkot Solo terhadap permukiman di daerah bantaran. Pada hakikatnya daerah bantaran memang merupakan daerah hak milik air. Sehingga wajar jika musim penghujan, air meminta haknya. Seandainya fenomena banjir ini tidak bersinggungan dengan aktivitas manusia bukanlah berarti sebuah bencana.

Untuk menjalankan model adjustment di Kota Solo secara ideal memanglah sulit karena kota ini terlanjur sesak permukiman, sehingga untuk melengkapi hal ini perlu dikembangkan metode ketiga yaitu dengan pendekatan ekologis dengan cara meredam banjir dari daerah hulu (abatement). Penanganan model ini perlu adanya kerjasama antara Pemkot Solo dengan Pemkab di hulu Bengawan Solo. Pemkot Solo juga harus bertanggungjawab terhadap upaya abatement yang dilakukan di hulu, meskipun bukan di daerah pemerintahannya.

Komentar : 6 Komentar - komentar »
Tag: Bencana
Kategori : GEOGRAFI
PENYEBAB BANJIR ?
29 12 2009

Pas buka-buka file kuno di komputer lamaku, ada file ini. Ternyata aku pernah menulis ini pas semester 6

Keterkaitan antara Hutan Gundul dan Banjir

Oleh : Budi Setiyarso

23 Februari 2007

Berita – berita terkini di media cetak maupun media elektronik sedang marak – maraknya membicarakan tentang bencana banjir yang melanda pelosok negeri ini, terutama di Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Topik yang menjadi sorotan atas penyebab terjadinya bencana banjir tersebut adalah illegal loging (penggundulan hutan secara liar). Informasi yang dicerna masyarakat terkait dengan berita tersebut bahwa hutan gundul di hulu sungai sebagai faktor penyebab utama banjir yang terjadi belakangan ini. Apakah benar demikian ? Tulisan ini tidak berusaha menjawab apakah hutan gundullah yang merupakan faktor penyebab utama terjadinya banjir, namun akan membahas seperti apa keterkaitan hutan terhadap potensi banjir. Dari hal ini, kita dapat memprediksikan seberapa besar sumbangsih hutan terhadap potensi terjadinya banjir. Tujuan utamanya adalah mensosialisasikan informasi arti pentingnya hutan terhadap kehidupan manusia sehingga mampu menumbuhkan kesadaran akan menjaga kelestarian hutan.

Bagaimana pengaruh hutan gundul di bagian hulu dan tengah sungai terhadap banjir di bagian hilir sungai?

Apriori yang berkembang di masyarakat bahwa keberadaan hutan / vegetasi mampu mengikat dan menyerap air hujan ke dalam tanah sehingga mampu mengurangi aliran permukaan (run off) agar tidak terjadi banjir. Apakah benar pendapat tersebut ?

Pendapat tersebut benar, namun hal tersebut bukanlah hal yang utama dalam keterkaitannya dengan terjadinya banjir. Akar tanaman mampu menyerap dan menyimpan air di dalam tubuhnya dengan kapasitas tertentu. Hal ini juga memicu penyerapan air dalam tanah (infiltrasi) yang disebut perkolasi. Konsep ini berlaku jika air dalam keadaan normal, mengingat kemampuan penyerapan air oleh tanaman sangat terbatas. Coba bayangkan jika dalam keadaan hujan dan tanah sudah jenuh air maka konsep ini sudah tidak berpengaruh lagi. Intinya pengaruh adanya vegetasi di atas tanah dengan penyerapan air dalam tanah adalah kecil jika dibandingkan dengan volume air hujan yang turun. Pernyataan di atas juga tidak mampu menjawab kasus jika hujan terjadi hanya di bagian hilir namun menyebabkan banjir.

Jika dikaji lebih jauh tentang penyerapan air ke dalam tanah (infiltrasi) maka faktor tanahlah yang lebih berpengaruh terhadap banyaknya air yang terserap. Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi laju infitrasi dan besarnya infiltrasi. Tanah yang bertekstur mayoritas debu dan atau pasir maka laju infiltasi dan tingkat / nilai infitrasinya lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur dominan lempung. Kedalaman tanah hingga mencapai lapisan impermeable mempngaruhi kapasitas penyerapan air menjadi air tanah.

Apakah keterkaitan utama antara hutan gundul dan banjir ?

Jawabannya adalah erosi. Hutan gundul di bagian hulu dan tengah menyebabkan kondisi tanah tidak resisten terhadap kekuatan gesekan aliran permukaan yang menyebabkan terkikisnya material luar tanah dan ikut hanyut terbawa aliran. Fungsi utama vegetasi di kawasan lindung dan penyangga adalah menahan tanah dari kekuatan aliran permukaan. Akar tanaman mampu menahan tanah tetap pada posisinya. Selain itu, air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai tanah namun akan mengenai ranting dan daun. Hal ini mampu mengurangi kecepatan dan kekuatan air hujan yang jatuh sehingga mampu mengurangi erosi percik. Fenomena yang lebih extreme adalah terjadinya longsor pada daerah yang memiliki kemiringan tinggi atau pada tebing – tebing yang terjal.

Erosi dan longsor inilah yang menyebabkan kehilangan tanah (loss soil) yang mengakibatkan pendangkalan lapisan tanah pada bagian hulu dan tengah sungai. Akibatnya sebagai berikut :

1. Pada kawasan hulu dan tengah

Permasalahan pada kawasan ini adalah kehilangan tanah akibat erosi. Dampak dari loss soil adalah berkurang dan hilangnya catchment area (daerah tangkapan hujan) dan pendangkalan lapisan tanah yang berakibat pada pengurangan kapasitas air yang terserap. Pandangkalan lapisan tanah ini mengakibatkan pendangkalan lapisan impermeable pada lapisan endapan permukaan. Hal lain yang terjadi adalah berkurangnya catchment area untuk aquifer batuan dasar. Dampak dari hal ini adalah air limpasan menjadi semakin besar dan berkurangnya kapasitas air tanah.

2. Pada kawasan hilir

Permasalahan di kawasan hilir adalah terjadinya pendangkalan sungai. Material akibat erosi di bagian hulu tertransport hingga ke sungai-sungai. Sungai ini menjadi alur material dan menjadi tempat sedimentasi terutama di daerah yang datar. Penumpukan sedimen tersebut biasanya terletak pada daerah yang terjadi pengurangan laju aliran secara extreme dan mendadak.

Di kawasan sedimen dan belakang sedimen inilah yang menjadi titik rawan terjadinya banjir, karena sedimentasi tersebut menggangu jalur aliran air sungai.

Solusi Alternatif :

Penghijauan hutan di kawasan lindung dan penyangga bukanlah satu-satunya solusi penanggulangan dan pencegahan banjir. Namun perlu diperhatikan juga sungainya. Perlu adanya upaya – upaya dalam rangka melancarkan kembali aliran sungai seperti pendalaman sungai (pengerukan dasar sungai), pelebaran badan sungai dan pelurusan aliran sungai.

Komentar : Tinggalkan sebuah komentar »
Tag: Bencana
Kategori : GEOGRAFI
OPINI JOGLOSEMAR
9 11 2009

REFLEKSI BANJIR SOLO

Dimuat di harian Joglosemar 11 Maret 2008

Oleh Budi Setiyarso

Laporan BMG memprediksikan Jawa Tengah masih akan diguyur hujan deras di bulan Maret ini. Terbukti curah hujan awal Maret di DAS Bengawan meningkat lagi, hingga pada tanggal 10 Maret 2008 beberapa Kawasan di Kota Solo tergenang lagi. Akankah banjir Desember 2007 terulang lagi? Tulisan ini sebagai refleksi banjir yang telah menggenangi beberapa wilayah di 12 kelurahan Kota Solo akhir Desember 2007 lalu.
Kejadian banjir Kota Solo akhir tahun 2007 kemarin merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat Solo pernah mengalami banjir besar pada tahun 1863, 1904, dan 1966 bahkan hingga menggenangi tengah kota. Curah hujan di DAS Solo hulu pada tanggal 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau ekuivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 ekuivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau ekuivalen dengan periode ulang 30 tahun (sumber: Balai Besar Bengawan Solo)
Tanggul pelindung banjir Kota Solo dan sekitarnya yang disebut tanggul Upper Solo River Improvement yang telah dibangun di tepi Bengawan Solo dari Nguter-Jurug hanya memiliki protection level Q=10 tahun. Sehingga jika diperhitungkan maka banjir Desember 2007 tersebut melampaui kemampuan tanggul, sehingga membludak di sepanjang alur Bengawan Solo. Namun kenyataannya tidak demikian, ada pengkonsentrasian genangan pada titik tertentu yaitu pada daerah yang tidak bertanggul, tanggulnya jebol, tempuran dengan anak sungai maupun pada daerah yang aliran airnya terhambat.
Di Kota Solo terjadi pengkonsentrasian genangan terutama di Kampung Sewu dan Joyotakan. Selain karena tidak berfungsinya pintu air Putat (Kampung Sewu) dan Pralan (Joyotakan) juga terjadi arus balik (backswam) dari aliran tengah kota (Kali Pepe, Kali Tanggul dan Kali Wingko) karena level air bengawan tinggi. Dampaknya terjadi genangan hampir 100 persen di Kelurahan Kampung Sewu dan Joyotakan. Fenomena ini diperkuat oleh jebolnya tanggul di 3 titik di Joyotakan dan 1 titik di Sangkrah serta ketidakmampuan daya lindung tanggul yang dijumpai di Kentheng (Semanggi) dan talud Kali Pepe di Bheton (Kampung Sewu).
Dilihat dari posisinya, Kota Solo memang merupakan kawasan rentan banjir karena berada di zona depresi (intermontain plain) yang diapit Vulkan Lawu, Vulkan Merapi dan pegunungan Seribu. Air permukaan yang masuk Kota Solo berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan 9 anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu konsentrasi air di Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Diperparah dengan hulu Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst/tanah gersang berbatu yang koefisien aliran permukaannya tinggi.
Infrastruktur Pengendali
Dilihat dari topografinya, Kota Solo mayoritas berelief datar namun memiliki banyak cekungan terutama di Solo bagian timur dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Solo. Cekungan-cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari Sudiroprajan ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah ara-ara (rawa) yang berarti dari dulu Solo sebelah timur memang daerah sasaran banjir.
Kota Solo seakan dibangunkan dari tidur lelapnya oleh banjir akhir tahun 2007 kemarin setelah 42 tahun tidak mengalami banjir yang besar. Berbagai infrastruktur pengendali banjir dipertanyakan eksistensinya. Masih efektifkah infrastruktur pengendali yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun tersebut menjalankan fungsinya?
Setiap infrastruktur pengendali banjir selalu mempunyai keterbatasan umur efektif dan daya lindungnya. Infrastruktur pengendali banjir Kota Solo mayoritas hanya memiliki protection level banjir 10 tahunan. Seiring bertambahnya kawasan terbangun di Kota Solo dan semakin padatnya pemukiman di kawasan floodplain (dataran banjir), seharusnya ada renovasi secara kontinyu.
Permasalahan banjir sebenarnya adalah persoalan dampak banjir bagi manusia. Perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal logging hanyalah secuil dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rentan banjir (flood plain) oleh manusia.
Bentuk-bentuk pengendalian banjir baik di Kota Solo, Jakarta, Semarang dan sebagainya masih bersifat protection yaitu diwujudkan dalam bentuk modifikasi sungai, tanggul, pembuatan sudetan, serta bendungan. Upaya tersebut kurang optimal karena hanya bersifat meminimalisasi luapan di lokasi perlindungan saja, sementara sumber banjir (cacthment area) dan perlakuan si penerima dampak (manusia) masih dikesampingkan.
Dalam buku karya Roy Ward yang berjudul Floods, a geographycal perspective ada tiga bentuk tanggapan manusia terhadap bahaya banjir yaitu adjustment (penyesuaian), protection (perlindungan) dan abatement (pengurangan potensi).
Adjustment lebih mengarah pada penataan manusia, karena banjir tidak akan menjadi problem jika tidak ada manusia yang terkena dampak. Protection merupakan bentuk perlindungan manusia terhadap banjir dalam bentuk modifikasi saluran drainase/sungai. Protection lebih mengarah pada perlakuan di lingkungan terjadinya banjir untuk meminimalisasi luapan ke daerah terlindung. Setiap infrastruktur memiliki keterbatasan protection level, sehingga perlu inovasi secara kontinyu, untuk mengantisipasi periode ulang banjir yang lebih tinggi.
Abatement merupakan upaya perlindungan banjir yang lebih komplek karena membentuk perlakuan terhadap DAS secara nonfisik. Permasalahan banjir menyangkut pada permasalahan cacthment area/DAS maka perlu adanya perlakuan secara menyeluruh tanpa mengindahkan batas-batas administrasi. Upaya penghijauan, penataan daerah hijau dan daerah terbangun merupakan upaya pencegahan degradasi lingkungan yang berdampak pula pada terjadinya banjir di daerah dataranbanjir.

Penulis adalah peneliti Banjir Solo, Mahasiswa FKIP Geografi
UNS Surakarta
kotalama

Kota Solo Lama

Komentar : 2 Komentar - komentar »
Tag: Bencana
Kategori : GEOGRAFI
HISTORICAL MITIGATION
23 06 2009

ANALISIS REAKSI MANUSIA TERHADAP BAHAYA BANJIR

Penelitian di biayai DIPA UNS 2008 dan DIKTI 2009

Oleh : Budi Setiyarso

Suatu reaksi atau tindakan tidak pernah luput dari persepsi orang tersebut terhadap sesuatu yang dihadapinya. Dalam studi ini sesuatu yang dihadapi manusia adalah fenomena banjir. Kajian dalam penelitian ini adalah kesejarahan perkembangan reaksi terhadap bahaya banjir di Kota Surakarta beserta persepsi yang melatarbelakanginya pada saat itu.
Persepsi terhadap bahaya banjir maksudnya adalah bagaimana manusia mengartikan sebuah fenomena banjir di lingkungan sosialnya. Manusia akan membentuk persepsi terhadap suatu fenomena banjir. Banjir dapat dianggap suatu bencana bagi sekelompok orang, namun juga bisa dianggap sebagai berkah bagi orang yang lain. Fenomena banjir dianggap merupakan bencana jika mengganggu aktivitas manusia atau menimbulkan kerugian harta atau nyawa, namun terkadang dapat dianggap berkah karena membentuk tanah yang subur, kaya akan sumber daya air dan keuntungan-keuntungan lain secara ekonomis.
Pengkajian reaksi terhadap bahaya banjir meliputi tindakan secara makro dari setiap fase perkembangan baik itu tindakan perlindungan banjir maupun tindakan penyesuaian banjir. Fase reaksi banjir di Kota Surakarta dibagi menjadi 6 fase yaitu :
1) Zaman Kerajaan Pajang
Pada masa ini Desa Sala telah ada sebagai desa pelabuhan sebagai pintu keluar masuk Kerajaan Pajang. Desa ini tidak berkembang karena hanya merupakan desa kuli di Bandar Beton. Desa ini tidak banyak dihuni karena merupakan desa yang kondisi fisiknya jelek, berawa, bertanah becek dan bahaya terhadap banjir serta terisolir dari desa lain jika dilihat dari jalur darat.
Penduduk Desa Sala adalah para kuli pelabuhan yang mencari nafkah di Bandar Beton. Secara logis, desa yang memiliki 2 bandar dan sebagai pintu keluar masuk Kerajaan Pajang dengan negara luar seharusnya mampu berkembang dengan pesat dan menjadi kota pelabuhan yang besar, karena jalur perdagangan Bengawan Solo merupakan jalur teramai selain daerah pesisir pulau Jawa. Namun kenyataannya tidak demikian, bandar yang berkembang pesat pada waktu itu adalah Bandar Laweyan. Laweyan dan Pajang menjadi kota karena berdekatan dengan pusat pemerintahan dan pusat pelabuhan. Padahal tidak semua kapal dapat masuk ke Kali Jenes / Kali Braja maupun kali tengah kota yang pada masa pemerintahan Pakoe Boewana IV diurug.
Fenomena ini menguatkan pada pendapat yang mengatakan bahwa akses darat dari Kerajaan Pajang ke Desa Sala sangat buruk karena merupakan rawa dan bertanah becek. Meskipun pada saat itu telah ada dua pelabuhan di Desa Sala, namun pelabuhan itu tidak banyak dikunjungi dan hanya merupakan pelabuhan transito.
Desa Sala tidak layak huni pada masa ini karena merupakan lahan rawa yang sering kebanjiran sehingga desa ini tidak dikembangkan. Permukiman kecil di Sangkrah menunjukkan bahwa ada suatu masyarakat yang betah tinggal di lahan banjir karena merupakan tempat mencari nafkah.
2) Zaman Kerajaan Kartasura
Pada masa ini telah ada pembangunan di Desa Sala yaitu pembangunan jalan penghubung Kartasura, Pajang, Desa Sala dan Bandar Beton. Pada masa ini Desa Sala sudah semakin berkembang. Dengan adanya jalur darat maka pelabuhan di Bandar Beton dan Nusupan menjadi ramai. Banyak kapal yang bongkar muat di dua pelabuhan ini. Runtuhnya Kerajaan Pajang juga memperkuat ramainya kedua bandar ini karena Bandar Laweyan menjadi sepi.
Desa Sala pada masa Kerajaan Kartasura menjadi pintu keluar masuk kerajaan dan menjadi penghubung kerajaan dengan dunia luar. Pada masa ini banyak rawa yang dikeringkan untuk dijadikan lokasi permukiman, lahan untuk pembangunan jalan dan fasilitas pelabuhan. Salah satu tindakan Kyai Gede Sala III (pemimpin Desa Sala) adalah memindahkan pusat desa di sebelah barat Kali Jenes. Alasan utama tak lain adalah untuk menghindari banjir.
3) Zaman awal berdirinya Kota Surakarta / Pakoe Boewana II
Setelah Keraton Kasunanan didirikan di Desa Sala, maka Pakoe Boewana II segera menutup lahan yang becek di lokasi pendirian keraton. Di luar dan di dalam keraton dibangun parit/jagang yang berfungsi untuk mengurangi genangan di lingkungan keraton. Mata air di Kedungkol ditutup karena dapat berpotensi menimbulkan genangan dan menyebabkan tanah menjadi becek.
Penduduk Desa Sala kemudian direlokasi di Semanggi dan Baturono. Penduduk asli ini menempati lahan bahaya banjir karena pada masa itu Bengawan Solo hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari keraton. Meskipun terancam banjir namun masyarakat ini lebih memilih Semanggi dan Baturono sebagai lokasi permukimannya. Alasannya tentu saja karena dekat dengan sumber penghidupan yaitu Bandar Beton dan Nusupan. Penduduk Desa Sala lebih memilih terancam banjir pada musim penghujan asalkan dekat dengan sumber pencaharian. Lahan di Semanggi yang berupa rawa kemudian dikeringkan untuk lokasi permukiman.
Permukiman Belanda dilokasikan di utara keraton untuk kepentingan politik dan ekonomi. Kedekatan dengan Bandar Beton dan Keraton Kasunanan menjadi pertimbangan pemilihan lokasi ini. Sedangkan permukiman keluarga raja lebih cenderung berkembang ke arah barat yang tak lain untuk mencari lokasi yang lebih baik dan aman dari banjir.
4) Zaman Pakoe Boewana VI
Zaman ini meliputi reaksi pada masa pemerintahan Pakoe Boewana III hingga Pakoe Boewana IV. Setelah Sunan Pakoe Boewanan II wafat, masih banyak pekerjaan rekayasa lingkungan yang belum terselesaikan. Pekerjaan ini diteruskan oleh Sunan Pakoe Boewana III. Pekerjaan besar pada saat itu adalah pemindahan Bengawan Solo ke timur Desa Semanggi. Pertimbangannya adalah untuk memperkecil potensi banjir dan untuk menambah pengembangan kota ke arah timur. Bersamaan dengan itu rawa di Semanggi diurug dan dikeringkan. Pekerjaan ini menguntungkan bagi penduduk asli Desa Sala yang berdomisili di Semanggi dan Baturono.
Pekerjaan besar terkait dengan perlindungan terhadap bahaya banjir kurang dikembangkan pada masa pemerintahan Pakoe Boewana IV dan V. Pekerjaan perlindungan dari luapan maupun genangan di tengah kota dilaksanakan pada pemerintahan Pakoe Boewana VI. Sunan Pakoe Boewana VI melakukan pengurugan sungai yang melewati tengah kota. Sungai ini diluruskan dan dipersempit menjadi saluran tersier/parit di sepanjang Jalan Purwosari. Pekerjaan ini dibangun bersamaan pembangunan jalan ini.
Mangkunegara III juga melakukan pengurugan di daerah pemerintahannya. Pengurugan dilakukan di sekitar pasar legi yang kemudian disebut Kampung Tambak Segaran. Kampung ini dahulunya berupa ledokan yang ditumbuhi tumbuhan rawa.

5) Zaman Pakoe Boewana X
Zaman Pakoe Boewana X merupakan zaman pembangunan bagi Kota Surakarta. Pembangunan bukan hanya terkait dengan fasilitas sosial-ekonomi kota namun juga pembangunan penanggulangan banjir. Banjir menjadi perhatian utama bagi Pakoe Boewana X karena pada masa pemerintahan sebelumnya Kota Surakarta mengalami banjir yang besar yaitu pada tahun 1892.
Pemerintah Kasunanan Surakarta bersama Adipati Mangkunegara VI dan Belanda membangun banjir kanal Kali Anyar dan Kali Pepe, Tanggul Bengawan Solo dan Tanggul Kali Anyar, pintu air Demangan dan pintu air Tirtonadi, dan DAM Gemunggung.
Kesadaran akan bahaya banjir pada masa ini sangat tinggi. Seiring dengan perkembangan kota yang pesat, maka sangat diperlukan perlindungan banjir tengah kota. Pada masa ini jalur transportasi darat menjadi trend yang menggantikan jalur transportasi sungai. Fasilitas perkotaan dibangun dan bersamaan dengan itu dibangun pula fasilitas perlindungan banjir.
Pada awalnya daerah di luar tanggul Bengawan Solo tidak dihuni manusia. Daerah ini diperuntukkan untuk wilayah banjir. Penduduk asli Sala yang sebelumnya berada di posisi paling timur pada saat itu juga berada di zone perlindungan banjir karena berada di dalam tanggul. Tanggul ini juga merupakan pertanda ditutupnya bandar di Bengawan Solo. Penduduk Sala tidak lagi menggantungkan hidupnya di kedua bandar ini dan bekerja di kota.
6) Pada saat penelitian
Pada tahun 1951 terjadi relokasi penduduk tengah kota ke daerah bahaya banjir yang meliputi Sangkrah, Semanggi dan Joyotakan. Permukiman di luar tanggul Bengawan Solo mulai saat itu semakin berkembang, karena disusul dengan penduduk luar kota yang ingin mencari penghidupan di Kota Surakarta. Proses ini mengindikasikan bahwa penggunaan daerah bahaya banjir untuk lokasi permukiman bukan merupakan pilihan karena adanya unsur keterpaksaan.
Pada tahun 1966 banjir Bengawan Solo melanda kota hingga tanggul Bengawan Solo jebol. Masyarakat di luar tanggul menjadi korban pertama banjir ini hingga tengah kota tenggelam hingga sepertiga bagian. Namun peristiwa ini tidak membuat masyarakat di luar tanggul Bengawan Solo pindah, namun jumlah permukiman semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Peristiwa banjir 1966 membuat BP DAS Bengawan Solo menaruh perhatian pada DAS Bengawan Solo hulu, hingga pada tahun 1974-1982 dibangunlah tanggul Bengawan Solo bersamaan pelurusan alur Bengawan Solo. Selain itu di Wonogiri dibangun pula Waduk Gajah Mungkur. Daerah luar tanggul Bengawan Solo menjadi zone perlindungan kedua karena dilindungi oleh tanggul Bengawan Solo yang baru.

perkembangan

Banjir Kota Solo

Banjir merupakan fenomena alamiah di dataran banjir (floodplain). Aliran air sungai memiliki toleransi untuk meluap di daratan yaitu di floodplain sehingga terkesan menggenangi lahan sekitar sungai yang sebenarnya adalah wilayah “milik air”. Aliran banjir sebenarnya merupakan sumberdaya karena mampu membentuk tanah yang subur melalui proses fluviatil/sedimentasi material banjir.

Permasalahan banjir sebenarnya adalah permasalahan dampak banjir bagi manusia. Banjir menjadi problems ketika floodplain dihuni manusia sehingga berpotensi menjadi bencana. Aktivitas manusia yang berada di floodplain/daerah rawan banjir akan terganggu dan menimbulkan kerugian yang besar. Bahkan menurut Kingma, banjir merupakan bencana yang menimbulkan kerugian dan korban terbesar di dunia (40 % dari seluruh bencana di dunia).

Permasalahan perilaku manusia yang menyebabkan banjir seperti pembuangan sampah, illegal loging hanyalah secuil dari permasalahan penyebab banjir. Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan overload sungai. Permasalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah rentan banjir (floodplain) oleh manusia, sehingga manusia menerima dampak banjir.

Dalam sejarah perkembangan manusia, setelah manusia mempunyai pola hidup menetap (nomaden) terjadi pemusatan permukiman di kawasan-kawasan yang subur dan berkecukupan air seperti floodplain, lembah sungai, pantai, dan dataran aluvial lainnya. Padahal daerah tersebut rawan terjadi banjir. Sejalan dengan perkembangan peradaban, kawasan tersebut akan berkembang menjadi perkotaan.

Kota Solo

Kota Solo merupakan kawasan rentan banjir karena berada di zone depresi(intermontain plain) yang diapit Vulkan Lawu, Vulkan Merapi dan pegunungan seribu. Air permukaan yang masuk kota Solo berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan 9 anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu konsentrasi air di Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Diperparah dengan hulu Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst/tanah gersang berbatu yang koefisien aliran permukaannya tinggi.

Dilihat dari topografinya, Kota Solo mayoritas berelief datar namun memiliki banyak cekungan terutama di Solo bagian timur dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Solo. Cekungan-cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari Sudiroprajan ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah ara-ara (rawa) yang berarti dari dulu Solo sebelah timur memang daerah sasaran banjir.

Banjir Kota Solo tidak akan pernah luput dari sejarah perkembangan Kota. Perkembangan Kota Solo juga tidak terlepas dari sejarah Keraton Kasunanan. Dimana Keraton berfungsi sebagai pusat pertumbuhan yang pertama dan utama bagi Kota Solo.

Sejarah mencatat setelah terjadinya Geger Pecinan, maka terjadi pemindahan keraton Kasunanan dari Kartosuro ke Desa Sala yang terletak di pinggir Bengawan Solo. Tujuannya adalah untuk menghindari musuh yang bersembunyi di Kartosuro dan untuk mendekati Bengawan Solo karena tempo dulu peran Bengawan Solo sangat vital terutama sebagai jalur transportasi. Pertemuan dua sungai besar yaitu Bengawan Solo dan Kali Pepe juga diyakini akan membawa berkah bagi keraton.

Pemindahan ini merupakan suatu bentuk penjemputan terhadap bencana banjir. Efek negatif banjir sangat mengancam Kota Solo. Jika dicermati, pada waktu itu Baluwarti ke arah timur masih berupa rawa, bertanah becek dan banyak terdapat mata air.

Banjir 26 Desember 2007

Kejadian banjir Kota Solo akhir tahun 2007 kemarin merupakan banjir terbesar sejak tahun 1966. Tercatat Solo pernah mengalami banjir besar pada tahun 1863, 1904 dan 1966 bahkan hingga mengenangi tengah kota. Curah hujan di DAS Solo hulu pada tanggal 26 Desember 2007 memiliki rata-rata 124 mm/hari atau equivalen dengan periode ulang 55 tahun (sebagai perbandingan banjir tahun 1966 equivalen dengan periode ulang 60 tahun). Debit puncak di Jurug diperkirakan sebesar 1986 m3/detik atau equivalen dengan periode ulang 30 tahun.(sumber : Balai Besar Wilayah Bengawan Solo)

Tanggul pelindung banjir Kota Solo dan sekitarnya yang disebut tanggul Upper Solo River Improvement yang telah dibangun di tepi Bengawan solo dari Nguter-Jurug hanya memiliki protection level Q=10 tahun. Sehingga jika diperhitungkan maka banjir Desember 2007 tersebut melampaui kemampuan tanggul, sehingga membludag di sepanjang alur Bengawan Solo. Namun kenyataannya tidak demikian, ada pengkonsentrasian genangan pada titik tertentu yaitu pada daerah yang tidak bertanggul, tanggulnya jebol, tempuran dengan anak sungai maupun pada daerah yang aliran airnya terhambat.

Di kota Solo terjadi pengkonsentrasian genangan terutama di Kampung Sewu dan Joyotakan. Selain karena disebabkan oleh tidak berfungsinya pintu air Putat (Kampung sewu) dan Pralan (Joyotakan) juga terjadi arus balik (back water) dari aliran tengah kota (Kali Pepe, Kali Tanggul dan Kali Wingko) karena level air bengawan tinggi. Dampaknya terjadi genangan hampir 100 % di Kelurahan Kampung sewu dan Joyotakan. Fenomena ini diperkuat oleh jebolnya tanggul di 3 titik di Joyotakan dan 1 titik di Sangkrah serta ketidakmampuan daya lindung tanggul yang dijumpai di Kentheng (Semanggi) dan talud Kali Pepe di Bheton (Kampung Sewu).

Banjir yang terjadi sejak 26 Desember 2007 yang diikuti banjir susulan hingga akhir-akhir ini adalah tipe banjir Bengawan Solo. Korban banjir mayoritas adalah masyarakat marjinal yang mendiami floodplain Kota Solo bagian timur, Oleh karena itu pengendalian banjir Kota Solo dari luapan Bengawan Solo merupakan program yang penting untuk diupayakan. Setelah kita berdiam diri karena 42 tahun tidak mengalami banjir Bengawan Solo yang berarti.

Sejarah Pengendalian Banjir Kota Solo

Zaman Kolonial Belanda

Semenjak pemindahan keraton ke Desa Sala, maka upaya perlindungan banjir di Desa Sala menjadi prioritas. Upaya pengendalian banjir dari zaman Pakubuwono II hingga tahun 1910 antara lain : penutupan mata air, pengurugan sekitar keraton bagian timur, pemindahan Bengawan Solo ke timur Semanggi, pembangunan tanggul pengelak banjir di bagian tenggara kota, tanggul Kali Anyar, sudetan sungai Jenes yang disebut Kali Tanggul dan sudetan Kali Pepe yang disebut Kali Anyar, pembuatan Dam Gemunggung, pintu air Demangan, pintu air tirtonadi, pintu air Tipes dan makam bergulo.

Sekitar tahun 1980

Setelah terjadinya banjir tahun 1966 yang menggenangi lebih dari sepertiga Kota Solo, maka kesadaran akan ancaman banjir kembali tergugah. Upaya yang dilakukan saat itu terfokus pada penanggulangan banjir Bengawan Solo yaitu : Pembangunan 3 pompa di Demangan, Pembangunan Waduk Gajahmungkur, pelurusan Bengawan Solo dan tanggul Upper Solo River Improvement (Di Solo berupa tanggul luar yaitu di Sangkrah dan Semanggi sebelah timur).

Kontemporer

Pengendalian banjir pasca tahun 1990 sangat minim, terhitung hanya pemodifikasian saluran lokal dan pembangunan tanggul Kali Wingko pada tahun 1998. Perkembangan ini hanya bersifat tambalsulam, jika terjadi genangan baru diperbaiki.

Pengendalian banjir yang dilakukan dewasa ini hanya sebatas modifikasi saluran lokal yang hanya mampu melindungi tengah kota dari banjir genangan. Namun banjir akibat luapan bengawan Solo kurang diperhatikan. Pasalnya luapan Bengawan Solo dilimpahkan sebagai tanggungjawab bersama antara kabupaten/kota di DAS Bengawan Solo. Sehingga upaya perlindungan banjir bengawan oleh internal Kota Solo sangat minim.

Kota Solo seakan dibangunkan dari tidur lelapnya oleh banjir akhir tahun 2007 kemarin setelah 42 tahun tidak mengalami banjir yang besar. Berbagai infrastruktur pengendali banjir dipertanyakan eksistensinya. Masih efektifkah infrastruktur pengendali yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun tersebut menjalankan fungsinya?

Setiap infrastruktur pengendali banjir selalu mempunyai keterbatasan umur efektif dan daya lindungnya. Infrastruktur pengendali banjir Kota Solo mayoritas hanya memiliki protection level banjir 10 tahunan. Seiring bertambahnya kawasan terbangun di Kota Solo dan semakin padatnya pemukiman di kawasan floodplain (dataran banjir). Seharusnya ada renovasi secara kontinue pada infrastruktur pengendali banjir Kota Solo.

Pintu air Putat dan Pralan yang tidak berfungsi, dinding-dinding tanggul yang rapuh, minimnya pompa di pintu air, rusaknya bendung karet di Kleco dsb merupakan bukti tidak terurusnya sistem pengendali banjir Kota Solo. Di sisi lain pembangunan Citywalk, Solo Techno Park, Taman Kali Anyar, Taman Bale Kambang, Revitalisasi TSTJ, Bus Rapid Transit dsb yang menjadi ikon modernisasi dan urbanisasi Kota Solo kian bergulir. Namun tak ada program perbaikan/penambahan sistem pengendali banjir yang jelas dan terperinci. Upaya untuk mempercantik Kota dan memodernisasikan Kota di bawah ikon ”Solo Kota Budaya” menjadi prioritas utama, namun upaya perlindungan masyarakat marjinal yang terancam banjir sangat minim.

bahaya

Penerapan Manajemen Bencana di Masyarakat

Oleh : Budi Setiyarso

Dikirim pada Majalah Mahasiswa FISIP UNS

Berbagai bencana alam yang melanda pelosok Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, nenek moyang kita juga mengalaminya. Bencana-bencana tersebut disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada zone subduction/pertemuan lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudra Hindia yang menyebabkan rentan terhadap gempa dan banyak Gunung Api. Hal ini diperparah dengan iklim tropis yang memiliki curah hujan tinggi menyebabkan bencana lain seperti banjir dan angin leysus. Masyarakat Indonesia memang ditakdirkan harus hidup berdampingan dengan bencana.

Kebudayaan lokal telah membentuk pola pikir masyarakat terhadap peristiwa alam baik itu dari segi spiritual maupun segi antisipasi bencana. Berbagai upacara tradisional dipersembahkan dalam rangka tolak bala. Masyarakat juga berusaha mengantisipasi bencana dengan cara mereka. Di beberapa wilayah di Indonesia berkembang pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan bencana gempa dan tsunami seperti pengetahuan smong di pulau Simeulue, syair-syair tentang gempa, tsunami dan tanah longsor di Kepulauan Mentawai, Pembuatan rumah panggung sebagai antisipasi banjir, rumah tradisional yang terbuat dari kayu sebagai antisipasi terhadap gempa. Sayangnya di Indonesia kebudayaan-kebudayaan seperti ini luntur ditelan era globalisasi.

Masyarakat Indonesia mudah mengikuti arus globalisasi tanpa memperhitungkan dampak yang mungkin timbul. Belajar dari negara Jepang, mereka masih menjunjung tinggi budaya dan adat asli. Salah satu contoh ditengah era globalisasi masih banyak ditemukan rumah tradisional Jepang dari kayu yang memiliki ketahanan terhadap gempa. Pembangunan rumah modern yang terbuat dari tembok atau betonpun masih tetap memegang esensi keamanan yaitu diberi semacam per untuk meredam gempa. Tapi Indonesia tidak demikian, masyarakat menganggap rumah tembok lebih memiliki prestise, lebih melindungi dan nyaman tapi melupakan segi keamanan.

Mengingat kondisi di atas maka perlu diberlakukannya aspek management bencana yang handal dan terpadu dalam rangka membentuk masyarakat yang tanggap dan tangguh terhadap bencana. Saat ini management bencana yang dilaksanakan di Indonesia terbatas pada pasca bencana, artinya usaha yang dilakukan hanya terpaku pada usaha tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Penanganan seperti membagi-bagikan super mie, makanan, pakaian, obat-obatan sudah sangat usang, ibarat obat usaha-usaha seperti ini hanya berkhasiat dalam rangka penyembuhan.

Pepatah mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati. Management prabencana mempunyai arti lebih penting dalam rangka membentuk masyarakat yang siap, handal dan waspada terhadap bencana, sehingga aspek korban dan kerugian dapat diminimalisir.

Management bencana digolongkan menjadi tiga hal yaitu:

1. Prevention / pencegahan

Beberapa fenomena alam penyebab bencana memang sulit untuk dilakukan pencegahan terjadinya, seperti gempa, angin ribut dan meletusnya gunung api. Bencana semacam ini dikenal dengan istilah bencana alam karena faktor penyebab bencana murni proses alam dan bukan campur tangan manusia. Salah satu upaya pencegahan yang pernah dilakukan Amerika Serikat tetapi belum pernah dilakukan di Indonesia adalah menyiram lahar Gunung api supaya mengkristal dan tidak mengalir ke permukiman penduduk.

Bencana yang terjadi akibat ulah tangan manusia/bencana lingkungan hidup dapat dicegah atau diminimalisir dengan membentuk masyarakat yang ramah terhadap lingkungan. Sebagai contoh usaha-usaha mencegah terjadinya banjir, tanah longsor seperti membuat bendungan, DAM, tanggul sungai, menjaga kebersihan sungai dan reboisasi.

2. Mitigation / peredaman

Memang bencana alam sulit untuk ditanggulangi/dicegah, namun paling tidak kita dapat mengurangi dampak yang timbul agar fenomena alam tersebut tidak menjadi sebuah bencana yang besar.

Penyelidikan terhadap potensi dan sumber bencana perlu dikaji oleh masyarakat ilmiah secara kontinue. Perkembangan informasi hasil penyelidikan perlu disosialisasikan pada masyarakat, terutama masyarakat lokal mengingat beda daerah beda bencana. TV lokal maupun radio lokal perlu mensosialisasikan aspek sumber fenomena, penyebab, proses, pola dan kawasan yang rentan bencana.

Informasi ilmiah tersebut dapat difungsikan dalam rangka meredam isu-isu yang berkembang dimasyarakat. Peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi adalah isu tsunami di Jogyakarta yang menyebabkan warga Jogya panik dan malah menimbulkan bencana baru seperti kecelakaan, padahal kalau dicermati tidak mungkin tsunami dapat mencapai kota Jogja yang berjarak lebih dari 100 km dari pantai selatan dan memiliki ketinggian lebih dari 200 meter dpal.

3. Prepareness / kesiapsiagaan

Upaya membentuk mental yang siap dan waspada terhadap bencana seperti latihan evakuasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat memang perlu dilakukan. Hal ini bertujuan ganda selain berfungsi sebagai latihan penyelamatan bagi lembaga yang terkait juga berfungsi membentuk kesiapan mental masyarakat bilamana terjadi bencana, seperti membentuk respon apa yang harus dilakukan dan harus lari kemana. Semakin tinggi kesiagaan masyarakat tentang bencana di daerahnya, semakin kecil pula resiko yang dihadapi.

Banjir Kota Solo 1966 Bisa Terulang

oleh : Budi Setiyarso

Kota Solo terletak di zona depresi antara plato di bagian selatan (Wonogiri), Gunung Merapi di sebelah barat, perbukitan Kendeng di sebelah utara, dan Glinting Lawu di sebelah timur.

Letak yang dapat diibaratkan seperti dasar mangkuk ini mengakibatkan wilayah ini sangat rentan terhadap banjir. Air limpasan yang masuk Kota Solo berasal dari tiga arah, yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat daya Gunung Lawu, dan dataran tinggi Wonogiri.

Kota Solo memang merupakan kawasan yang rentan terhadap banjir, meskipun banjir hanya berskala kecil. Namun mengingat kondisi lingkungan yang semakin memburuk seperti banyaknya kerusakan hutan akibat pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan maupun aktivitas gunung api menyebabkan berkurangnya daerah tangkapan hujan. Dikhawatirkan akan terjadi banjir bandang berskala besar yang akan melanda Kota Solo seperti banjir tahun 1966.

Kritisnya waduk Gajah Mungkur terlihat dari beberapa bagian bangunan bendung yang runtuh dan batu penyangga dinding waduk mulai lepas. Kerusakan itu disebabkan oleh sifat aliran air sedimentasi waduk. Jika waduk ini jebol, kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi di Kota Solo.

Tanggul kritis juga banyak ditemukan seperti di aliran air Kali Gawe, Kali Dengkeng, Kali Atas Aji, Kali Samin, dan Kali Srag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar