Senin, 26 Juli 2010

Mendidik Islami Ala Luqman Al-Hakim dan Pendidikan Muhammadiyah

Mendidik Islami Ala Luqman Al-Hakim dan Pendidikan Muhammadiyah

“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ….. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (Luqman: 13-19)

Surat Luqman secara umum, terutama ayat 13-19 difahami sebagai surat yang harus dibaca saat prosesi aqiqah atau kesyukuran atas kelahiran seorang anak, dengan harapan bahwa sang ayah nantinya dapat meneladani tokoh Luqman yang diabadikan wasiatnya dan sang anak juga dapat mengikuti petuah dan nasehat seperti halnya anak Luqman. Tentu pemahaman ini dapat diterima, mengingat secara tekstual ayat-ayat ini memang berbicara secara khusus tentang pesan Luqman dalam konteks mendidik anak sesuai dengan pesan Al-Qur’an. Apalagi pesan Luqman dalam surat ini sebenarnya adalah pesan Allah yang dibahasakan melalui lisan Luqman Al-Hakim sehingga sifatnya mutlak dan mengikat; pesan Luqman dalam bentuk perintah berarti perintah Allah, demikian juga nasehatnya dalam bentuk larangan pada masa yang sama adalah juga larangan Allah yang harus dihindari.

Luqman yang dimaksud dalam ayat-ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah Luqman bin Anqa’ bin Sadun. Ia adalah anak dari seorang bapak yang Tsaaran. Pengabadian kisah Luqman memang berbeda dengan pengabdian tokoh lain yang lebih komprehensif. Pengabadian Luqman hanya berkisar seputar nasehat dan petuahnya yang sangat layak dijadikan acuan dalam mendidik anak secara Islami.

Tentu masih banyak lagi cara Islami dalam mendidik anak berdasarkan ayat-ayat atau hadits Rasulullah saw yang lain. Namun paling tidak, pesan Luqman ini bukan sekedar pesan biasa umumnya seorang bapak kepada anaknya, namun merupakan pesan yang penuh dengan sentuhan kasih sayang dan sarat dengan muatan ideologis serta tersusun berdasarkan skala prioritas dari pesan agar mengesakan Allah dan tidak menyekutukannya sampai pada pesan untuk bersikap tawadu’ dan santun yang tercermin dalam cara berjalan dan berbicara. Kedua jenis pesan dan nasehat tersebut ternyata tidak keluar dari dua prinsip utama dalam ajaran Islam yaitu ajaran tentang akidah dan akhlak.

Menurut Sayid Quthb, rangkaian ayat-ayat berbicara tentang Luqman dan nasihatnya yang diawali dengan anugerah hikmah kepada Luqman di ayat 12 merupakan pembahasan kedua dari pembahasan surat Luqman yang masih sangat terkait dengan pembahasan episode pertama, yaitu persoalan akidah. Pesan Luqman sendiri pada intinya adalah pesan akidah yang memiliki beberapa konsekuensi; di antaranya berbakti dan berbuat ma’ruf kepada kedua orang tua sebagai bukti rasa syukur atas kasih sayang dan pengorbanan mereka merupakan tuntutan atas akidah yang benar kepada Allah swt. Senantiasa merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap langkah dan perbuatan merupakan aktualisasi dari keyakinan akan sifat Allah Yang Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Mengawasi. Serta menjalankan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar yang disertai dengan sikap sabar dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan merupakan bukti akan keluatan iman yang bersemayam di dalam hati sanubari, hingga pada pesan untuk senantiasa bersikap tawadu’ dan tidak sombong, baik dalam bersikap maupun dalam berbicara. Semuanya tidak lepas dari ikatan dan tuntutan akidah yang benar.

Dominasi pembahasan seputar akidah dalam surat ini memang wajar karena surat Luqman termasuk surat Makkiyyah yang notabene memberi fokus pada penanaman dan penguatan akidah secara prioritas..

Terlepas dari pro kontra siapa Luqman sesungguhnya; apakah ia seorang nabi ataukah ia hanya seorang lelaki shalih yang diberi ilmu dan hikmah, yang jelas jumhur ulama lebih cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa ia hanya seorang hamba yang shalih dan ahli hikmah, bukan seorang nabi seperti yang diperkatakan oleh sebagian ulama. Gelar Al-Hakim di akhir nama Luqman tentu gelar yang tepat untuknya sesuai dengan ucapannya, perbuatan dan sikapnya yang memang menunjukkan sikap yang bijaksana. Allah sendiri telah menganugerahinya hikmah seperti yang ditegaskan dalam ayat sebelumnya:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji“. (Luqman: 12)

Yang menarik disini bahwa ternyata sosok Luqman bukanlah seorang yang terpandang atau memiliki pengaruh. Ia hanya seorang hamba Habasyah yang berkulit hitam dan tidak punya kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat. Namun hikmah yang diterimanya menjadikan ucapannya dalam bentuk pesan dan nasehat layak untuk diikuti oleh seluruh orang tua tanpa terkecuali. Hal ini terungkap dalam riwayat Ibnu Jarir bahwa seseorang yang berkulit hitam pernah mengadu kepada Sa’id bin Musayyib. Maka Sa’id menenangkannya dengan mengatakan: “Janganlah engkau bersedih (berkecil hati) karena warna kulitmu hitam. Sesungguhnya terdapat tiga orang pilihan yang kesemuanya berkulit hitam, yaitu Bilal, Mahja’ maula Umar bin Khattab dan Luqman Al-Hakim”.

Rangkaian pesan dan nasehat Luqman yang tersebut dalam 7 ayat di atas secara redaksional dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu bentuk larangan yang berjumlah 3 ayat dan redaksi perintah yang berjumlah 3 ayat. Sedangkan yang mengapit antara keduanya adalah pesan untuk senantiasa muraqabtuLlah karena Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap hambaNya tanpa terkecuali meskipun hanya sebesar biji zarrah dan dilakukan di tempat yang sangat mustahil diketahui oleh siapapun melainkan oleh Allah swt. Tiga larangan yang dimaksud adalah larangan mempersekutukan Allah, larangan menta’ati perintah kedua orang tua dalam konteks kemaksiatan, serta larangan bersikap sombong. Sedangkan nasehat dalam bentuk perintah diawali dengan perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua dalam keadaan apapun mereka yang diringi dengan mensyukuri Allah atas segala anugerah dan limpahan rahmatNya dalam beragam bentuk, perintah untuk mendirikan shalat, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar serta perintah bersikap sederhana dalam berjalan dan bersuara (berbicara).

Dalam menjelaskan secara aplikatif tafsir ayat 15 dari surat Luqman ini, Ibnul Katsir dalam kitab Usudul Ghabah ( 2: 216) menukil riwayat Thabrani yang mengetengahkan kisah seorang anak yang bernama Sa’ad bin Malik yang tetap berbakti menghadapi ibundanya yang menentang keras keislamannya dengan melakukan aksi mogok makan beberapa hari lamanya sehingga terlihat kepenatan menimpa ibundanya. Namun dengan tegas dan tetap menunjukkan baktinya Sa’ad berkata dengan bijak kepada ibundanya: “Wahai ibu, sekiranya engkau memiliki seratus nyawa. Lalu satu persatu nyawa itu keluar dari jasadmu agar aku meninggalkan agama (Islam) ini maka aku tidak akan pernah menuruti keinginanmu. Jika engkau sudi silahkan makan makanan yang telah aku sediakan. Namun jika engkau tidak berkenan, maka tidak masalah.”

Akhirnya ibu Sa’ad pun memakan makanan yang dihidangkannya, karena merasa bahwa upaya yang cukup ekstrim itu tidak akan meluluhkan keteguhan hati anaknya dalam agama Islam. Tentu sikap yang bijak yang ditunjukkan oleh seorang anak terhadap sikap memaksa kedua orang tuanya yang digambarkan dalam ayat ke 15 tidak akan hadir secara instan tanpa didahului oleh pemahaman yang benar akan akidah Islam, terutama akidah kepada Allah.

Kisah di atas jelas merupakan sebuah kisah yang sangat menarik dan berat untuk difahami dalam konteks kekinian. Bagaimana secara sinergis seorang anak tetap mampu menghadirkan sikap bakti kepada orang tua dengan tetap mempertahankan ideologi dan keyakinan yang dianutnya yang berbeda dengan keyakinan kedua orang tuanya. Pada ghalibnya seorang anak akan merasakan kesukaran dan keberatan untuk menimbang antara ketaatan kepada perintah orang tua dan bersikap ihsan serta berbakti kepada keduanya. Menurut Ibnu Katsir berbakti kepada kedua orang tua adalah dalam konteks bersilaturahim, mendoakan dan memberikan bantuan yang semestinya yang harus dibedakan dengan ketaatan yang berujung kepada bermaksiat kepada Allah. Tentang hal ini, Sufyan bin Uyainah pernah berkata :

“Barangsiapa yang menegakkan shalat lima waktu berarti ia telah mensyukuri Allah dan barangsiapa yang senantiasa berdoa untuk kedua orang tuanya setiap selesai shalat, maka berarti ia telah mensyukuri kedua orang tuanya.”

Sungguh sebuah sikap yang matang dan bijak yang tentu berawal dari model pendidikan yang bernuansa ‘akidi dan akhlaqi’ dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan tuntutan kekinian yang seimbang dengan landasan prinsip dalam berIslam secara baik dan benar. Anak-anak sekarang sangat mendambakan nasehat orang tua yang memperkuat, bukan memanjakan karena memang mereka hidup untuk zaman yang berbeda dengan zaman kedua orang tuanya seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam haditsnya:

“Pilihlah tempat nuthfahmu untuk dibuahkan. Karena sesungguhnya anak-anakmu dilahirkan untuk zaman mereka yang berbeda dengan zamanmu.”

Demikian nasehat dan pesan Luqman dalam mendidik anaknya yang didahului oleh pendidikan akidah tentang keEsaan Allah dan pengetahuanNya yang absolut yang akan melahirkan sikap mawas diri, hati-hati dan muraqabatuLlah dalam bersikap dan bertindak. Kekuatan dan kemantapan akidah tersebut akan terespon dan termanifestasikan dalam berakhlak dan berperilaku kepada orang lain, terutama sekali terhadap kedua orang tua. Sungguh satu upaya yang serius dari seorang Luqman yang bijak untuk mendekatkan dan memperkenalkan seorang anak sejak dini dengan RabbNya yang berdampak pada kebaikan dan kesejahteraan lahir dan bathin, serta menjadikannya memiliki tingkat imunitas dan pertahanan diri yang kokoh menghadapi beragam godaan kehidupan yang dirasa kian melalaikan dan menjerumuskan. Billahi Fii Sabililhaq Fastabiulkairat.

Saya terlahir dari keluarga Muhammadiyah yang sangat bangga dengan ke-Muhammadiyah-annya. Kebanggaan ini insya Allah bukan ashabiyah belaka, karena banyak diantara anggota keluarga saya yang benar-benar terlibat aktif dalam pergerakan Muhammadiyah yang sangat bernilai positif.



Dulu, yang paling dibanggakan Muhammadiyah adalah sikapnya yang steril terhadap khurafat, dan terutama sekali : taqlid buta. Mereka yang rajin mencermati artikel-artikel karya Buya Hamka, akan jelas sekali bahwa misi utama Muhammadiyah adalah mengembalikan umat Islam pada ajaran yang benar dan jauh dari khurafat, sedangkan tradisi-tradisi yang penuh khurafat itu sendiri ditegakkan oleh dinding perkasa yang bernama ‘taqlid buta’. Karena umat bersikap taqlid buta, maka hilanglah semangat untuk mempelajari agama secara sungguh-sungguh, dan akhirnya menerima saja tradisi nenek moyang yang diajarkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, mudah dipahami mengapa taqlid buta selalu menjadi musuh besarnya Muhammadiyah.



Buya Hamka barangkali adalah sosok ideal yang selalu dijadikan teladan oleh warga Muhammadiyah. Beliau adalah pembelajar sejati, punya semangat otodidak yang sangat tinggi, tapi juga tidak kebablasan dalam mencari kebenaran, sehingga tidak terperosok ke dalam sikap sombong seperti kalangan JIL. Meskipun pendiri Muhammadiyah adalah Ahmad Dahlan, namun sosok Buya Hamka lebih banyak dikenali orang, mulai dari jalan hidupnya sampai pada detil pemikirannya. Sebagaimana ideologi Muhammadiyah, Buya Hamka pun sangat concern pada isu seputar taqlid buta.



Ketika melihat film Laskar Pelangi, Mama saya – yang tak pernah punya jabatan struktural dalam level apa pun di Muhammadiyah – mengekspresikan kebanggaannya sebagai anggota keluarga besar Muhammadiyah. Menurutnya, (apa yang diperlihatkan dalam film Laskar Pelangi) itulah Muhammadiyah yang sebenarnya ; sebuah organisasi Islam yang paling peduli dan membaktikan dirinya dalam mendidik umat. Ketika umat Islam Indonesia tenggelam dalam kebodohan, Muhammadiyah berada di ujung tombak perjuangan dengan mendirikan sekolah di seluruh penjuru negeri. Ketika semua orang enggan mengurus rakyat miskin yang tak mampu bayar SPP, Muhammadiyah-lah yang mau mendidik umat meski dengan bayaran minim, atau tanpa bayaran sekalipun. Kesadaran untuk mendidik umat (dan membebaskannya dari taqlid buta) menghujam keras dalam benak semua kader Muhammadiyah.



Tapi di belakang kebanggaan tersebut, masih ada lanjutannya. Menurut Mama, Muhammadiyah itu “...nggak berpolitik terus seperti sekarang ini!”



Sebenarnya warga Muhammadiyah (seperti Mama saya) tidak alergi betul dengan politik. Buya Hamka pun berpolitik, sebelum Masyumi dikebiri oleh Soekarno dan dilarang bangkit lagi oleh Soeharto. Pada umumnya mereka juga bersikap toleran dan tidak terlalu mempermasalahkan adanya berbagai partai Islam, asalkan semuanya benar-benar menjaga baik nama Islam. Selebihnya tinggal fastabiqul khairaat. Namun ada juga bentuk kegiatan berpolitik yang tidak sehat dan jelas-jelas melanggar ideologi Muhammadiyah, dan inilah yang membuat sebagian orang kehilangan kebanggaannya terhadap Muhammadiyah, sehingga yang tersisa hanya kisah indah di masa lalu.

Sebagai contoh, kedekatan Syafii Maarif dengan PDIP (atau lebih tepatnya dengan Baitul Muslimin) jelas-jelas sebuah bentuk pengkhianatan, apalagi jika dibungkus dengan misi pluralisme. Andaikan Syafii Maarif berteman mesra dengan partai Islam (PBB, PKS, PPP, dan sebagainya), maka tidak akan ada masalah. Namun jika yang didekatinya adalah partai sekuler, penentang RUU Pornografi, dan punya indikasi kuat ber-taqlid buta terhadap Megawati Soekarnoputri, maka itu jelas-jelas masalah. Lebih parah lagi karena Baitul Muslimin mengadakan perayaan 100 tahun Buya Hamka dengan memfitnah tokoh besar Muhammadiyah itu sebagai tokoh pluralisme yang menyamakan semua agama. Belakangan, Syafii Maarif (mantan Ketua PP Muhammadiyah) dan Din Syamsudin (Ketua PP Muhammadiyah kini) masih tetap mesra dengan Baitul Muslimin. Ketika Buya Hamka disakiti, tentu warga Muhammadiyah juga merasa disakiti.



Ketika terjadi ‘gonjang-ganjing’ antara Muhammadiyah dan PKS, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang justru kecewa dengan para pemimpinnya. Pada awalnya yang terdengar adalah kekecewaan Muhammadiyah karena anggota mudanya banyak yang lebih rajin beraktifitas di PKS daripada di ormas induknya. Jika harus ada himbauan pada para kader muda agar kembali berkiprah di Muhammadiyah, maka itu wajar-wajar saja. Tapi isu yang berkembang kemudian justru seputar masalah ‘rebutan masjid’, ‘gerakan transnasional’, bahkan diwarnai pula oleh parpol lain yang merasa dirinya ‘lebih Muhammadiyah’ dan lebih pantas dijadikan tempat aspirasi warga Muhammadiyah. Isu-isu yang sangat beraroma taqlid buta ini justru menjatuhkan harga diri Muhammadiyah ke lubang yang sangat dalam.

Belakangan, para pimpinan Muhammadiyah justru meributkan masalah munculnya imej Ahmad Dahlan dalam iklan politik PKS. Sebagai ormas anti-taqlid, semestinya Muhammadiyah merasa gembira dan mengapresiasi jika ada pihak lain yang menjadikan Ahmad Dahlan sebagai teladannya. Toh, karena steril dari taqlid, (semestinya) Muhammadiyah pun tidak memiliki beban untuk mengambil pelajaran dari tokoh harakah mana pun, selama yang diambil adalah yang baik-baik. Kalau merasa gengsi mengambil pelajaran dari tokoh harakah lain, berarti sudah terjangkit virus ashabiyah, dan biasanya sepaket dengan taqlid buta terhadap tokoh harakah-nya sendiri. Karena itu, kegusaran Muhammadiyah terhadap penggunaan imej Ahmad Dahlan terasa sangat janggal. Sangat kontras dengan sikap diamnya Muhammadiyah menyaksikan Buya Hamka difitnah habis oleh kaum pluralis di depan muka Syafii Maarif dan Din Syamsudin.

Watak Muhammadiyah yang sebenarnya adalah anti-khurafat, anti-taqlid buta, dan peduli pendidikan. Kalau harus mengembangkan ashabiyah, maka ujung-ujungnya adalah menciptakan khurafat dalam organisasi sendiri. Setelah itu, timbullah taqlid, dan umat pun semakin mudah diprovokasi untuk debat kusir. Misi mendidik umat kalah populer dengan serunya berpolitik ala kaum sekuler (baca : politik kotor). Ahmad Dahlan dan Buya Hamka dielu-elukan tanpa pernah ditengok lagi buah-buah pemikirannya. Sebagian warga Muhammadiyah yang masih menjunjung tinggi ideologi Muhammadiyah hanya bisa bersedih menunggu dan berdoa ; semoga Muhammadiyah bisa kembali menjadi Muhammadiyah.
drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.drs.iwan geografi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar